Membuka Tabir Rumah Bordil
KETERTARIKAN pertama saya dengan novel karya Bode Riswandi ini bermula dari judulnya yang cukup ambigu. Judul 'Hari Terakhir di Rumah Bordil' memicu rasa penasaran, membuat bertanya-tanya seperti apa cerita ini akan disajikan hingga diberi judul yang sedemikian provokatif. Mungkinkah serupa novel 'Perempuan di Tititk Nol' karya Nawal El-Saadawi? Karangan prosa yang mengisahkan kehidupan Firdaus, seorang remaja perempuan yang tumbuh dalam lingkungan keras dan dibesarkan oleh keluarga pelacur yang mengakrabkannya dengan wajah kelam patriarki. Maka, menemukan novel dengan tema yang tampaknya serupa terasa seperti mendapat kesempatan emas yang sayang untuk dilewatkan. Novel 'Hari Terakhir di Rumah Bordil' merupakan salah satu karangan prosa Indonesia yang menyuguhkan kisah sekaligus menggambarkan derita para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang hidup di wilayah-wilayah yang kerap disebut sebagai "daerah hitam".
Melalui narasi yang jujur dan tanpa basa-basi, Bode Riswandi mengangkat realitas yang jarang terjamah humanistik - membuka mata pembaca terhadap sisi lain dari ranah marginal dunia seks komersial. Pertama-tama, membaca novel ini mengajak kita untuk menggeser cara pandang - dari ujaran penghinaan menjadi pendekatan yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Jikalau menguraikan stigma yang dilabelkan kepada PSK; biang keretakan rumah tangga, inang penyakit kelamin, perempuan murahan, sampah masyarakat, serta narasi lain yang secara sepihak merendahkan martabat perempuan. Padahal, stigma semacam ini tidak hanya bias, tetapi juga menutup kenyataan bahwa pria turut andil besar dalam eksistensi dan berjalannya praktik ini. Dengan membaca novel 'Hari Terakhir di Rumah Bordil' seolah memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam. Ia seakan berkata "Hei, tunggu dulu kawan, stigma anda ini tidak sepenuhnya bisa dibenarkan."
Kedua, sering kali kita berasumsi bahwa wanita tuna susila tidak memiliki perasaan tulus apalagi cinta terhadap seorang pria. Namun, anggapan ini patut dipertanyakan dengan mengajak pembaca untuk terlebih dahulu menelaah novel ini. Salah satu keunikan Bode Riswandi dalam meramu pesan cerita adalah dengan membungkus narasi yang sarat kritik sosial ke dalam kisah romansa tokoh Yanti dan Dahlia. Saya tidak bisa memastikan apakah keduanya merupakan tokoh utama, namun sebagian alur cerita memang lebih menyorot kisah mereka. Bode mengawali kisahnya dengan memperkenalkan sosok Magdalena - mucikari dari bisnis haram ini. Ia menjalankan praktik prostitusi berkedok rumah makan. Magdalena dikenal sebagai sosok yang langganan keluar-masuk penjara, tetapi hukum seolah tak pernah benar-benar menjangkaunya. Hal ini terjadi karena adanya andil aparat termasuk polisi yang digambarkan dalam novel sebagai bagian dari lingkaran pelanggan bisnis tersebut.
Praktik prostitusi berkedok rumah makan ini bernama 'RM Adem Ayem' yang terselubung menargetkan pria dari kalangan pegawai negeri, pengusaha, turis, hingga aparat penegak hukum sebagai pelanggan tetap. Tidak jarang mereka mendapat perlakuan istimewa - layanan eksklusif yang tidak diberikan kepada pelanggan biasa. Karena besarnya keuntungan dan luasnya jaringan kekuasaan, Magdalena mempertahankan bisnis ini mati-matian dengan dibantu agen kepercayaannya. Para tokoh perempuan muda dalam cerita nyaris berakhir masuk perangkap yang sama yakni jerat eksploitasi Magdalena melalui agen kepercayaannya, Sukat. Pria ini ditugaskan mencari calon pekerja dengan cara yang manipulatif; memacari mereka. Berbekal wajah yang tampan dan kepiawaian berbicara manis, Sukat dengan mudah meluluhkan hati para perempuan tanpa menaruh curiga.
Pada bagian ini, mengingatkan saya pada praktik penipuan yang menggunakan cinta sebagai alat untuk menjebak perempuan - fenomena yang ternyata tak hanya ada dalam fiksi. Kisah terjadi di salah satu daerah di Maluku dimana cinta digunakan sebagai kedok untuk tujuan ideologis. Dalam konteks ini, seorang pria mendekati perempuan dengan maksud memurtadkannya. Erat bersinggungan dengan ketegangan identitas agama di wilayah tersebut, dimana umat Islam dilarang tinggal di lingkungan yang sama dengan non-Islam, sehingga muncul pengotak-kotakan agama yang ekstrem. Dari pihak yang merasa terancam muncul strategi membentuk sekutu dengan cara memurtadkan perempuan muslim melalui relasi asrama. Sayangnya, persoalan ini belum sampai ke muka publik atau mungkin sudah namun tidak cukup mendapat perhatian. Yang jelas isu seperti ini jarang dibicarakan secara terbuka meski dampaknya sangat nyata dalam kehidupan masyarakat di lapisan bawah.
Kembali ke praktik prostitusi berkedok rumah makan 'RM Adem Ayem', tempat ini telah memiliki selusin PSK, salah satunya adalah Yanti yang sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan ini. Dibalik senyum yang terpaksa dipamerkan dan tubuh yang diperdagangkan ada kisah panjang penderitaan yang jarang terlihat mata telanjang manusia. Setiap malam menjelang senja, Yanti bersiap, mempersolek diri, dan menunggu pelanggan di bilik-bilik sempit yang berderet rapi. Menariknya, tokoh-tokoh perempuan muda dalam cerita ini beserta Yanti mencerminkan keteguhan hati yang tidak mudah tunduk pada perintah dan peraturan Magdalena. Yanti sering kali memberontak, bahkan merencanakan kabur dari tempat laknat tersebut. Alasannya bukan lain memiliki kekasih yang akan dinikahinnya yaitu Bang Firman. Sayangnya rencana Yanti tidak menemukan akhir yang bahagia karena ia tertangkap oleh suruhan Magdalena.
Lalu, muncul tokoh lain bernama Dahlia. Perempuan yang dicintai Sukat, ini betulan cinta sebab perasaan itu bertahan berminggu-minggu lamanya. Dahlia adalah pelayan toko kain dan pakaian di bilangan pasar yang suatu waktu dikunjungi Sukat. Sayangnya, kenaifan Dahlia justru menjadi celah Sukat untuk memanipulasinya. Dengan dalih nyawanya terancam, Sukat menyeret Dahlia ke dunia yang sama, dan akhirnya menyerahkan cintanya kembali ke tangan Magdalena. Waktu berlalu, di balik luka dan dendam yang tumbuh subur di hati Dahlia, ia bertahan bertahun-tahun lamanya sebagai PSK. Bagi teman senasibnya: "Sebenarnya kamu punya banyak kesempatan kabur dari sini, Lia. Tapi mengapa tak kamu lakukan itu? Jangan karena janji lelaki iblis itu, kamu merelakan dirimu jadi seperti ini. Kamu bisa kabur sejak lama sebetulnya. Seandainya posisiku adalah kamu, kabur dari sini jalan terbaik untukku.” Dahlia akan menjawab: "Aku tahu bagaimana mengatur hidupku. Masih ada satu hal yang belum selesai! Perempuan yang dipegang kesetiaannya dan lelaki ucapannya!” Membaca bagian ini, saya terkesima.
Ibaratnya orang sering mengutip aforisme kolot, "Orang yang sedang kasmaran perasaannya selalu lebih maju ketimbang akal sehatnya" itu kurang cocok merepresentasikan sikap Dahlia. Ia bukan sekedar korban cinta buta yang tak tahu arah. Kalau Yanti adalah lambang dari "Rindu harus dibayar tuntas," maka Dahlia lebih tepat disebut perwujudan dari "Dendam pun harus dibayar lunas."
*Calon entri Wikipedia, masih nunggu diedit sama semesta.
Penulis : Bode Riswandi