Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tasawuf Modern yang Menyelamatkan Penulisnya


“Saudara Hamka!”, dalam catatan kali ini penulis ingin menggunakan sebutan atau sapaan yang dipakai Bung Karno, presiden pertama kita, tatkala mengutip pemikiran Hamka dalam pidato-pidatonya.

Dekat, sungguh! Soekarno dan Saudara Hamka adalah dua buah pribadi dengan benang merah yang kuat dalam kancah perjuangan bangsa ini. Soekarno melalui gerakan nasionalis yang berbasis sosialisme, sedangkan Saudara Hamka melalui gerakan Islamis yang berbasis modernisme. Ada banyak titik singgung di antara keduanya, namun tetap berada pada harmoni yang sama. Kisah mereka berdua benar-benar penuh dinamika. Kalau dijelaskan lebih lanjut bakal panjang jadinya.

Lalu apa kaitannya kisah Bung Karno dan Saudara Hamka tersebut dengan buku Tasawuf Modern ini. Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Hamka melalui kata sambutannya pada cetakan ke XII, beliau mengisahkan bahwa tatkala berlaku sistim demokrasi terpimpin di era Bung Karno, beliau pernah di tahan dengan tuduhan sebagai pengkhianat negara. Miris! Semenjak kecil beliau selalu dihormati dan dimanja oleh masyarakat di tempatnya lantaran beliau adalah keturunan seorang alim besar. Pada usia 16 tahun saja beliau diangkat menjadi datuk dengan gelar pusaka Datuk Indomo. Bahkan setelah karier beliau berkembang dan maju, pada tahun 1959 beliau dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar karena dianggap sebagai salah satu ulama terbesar di Indonesia. Menakjubkan.

Namun, tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba beliau ditahan dengan tuduhan yang berbunyi, “Saudara pengkhianat! Menjual negara kepada Malaysia!” Runtuh jiwa beliau! Hancur lebur segala kegemilangan dan nama baik yang sudah beliau rengkuh selama ini. Bahkan, saking guncang dan gelap hati beliau tatkala menerima kalimat itu, Saudara Hamka sempat terpikir untuk bunuh diri dengan memotong urat nadinya menggunakan silet. Perang batin beliau rasakan saat merencanakan jalan setan itu. Tapi, alhamdulillah, iman beliau menang! Beliau pun akhirnya mengurungkan niat buruk itu.

Seperti yang beliau ceritakan, salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan beliau adalah beliau takut kalaulah nanti beliau mati bunuh diri, maka di tengah masyarakat bakal tersiar kabar: dengan bukunya Tasawuf Modern dia menyeru orang agar sabar, tabah, dan teguh bila menderita satu percobaan Tuhan. Orang yang membaca bukunya itu semuanya selamat karena nasihatnya, sedang dirinya sendiri memilih jalan yang sesat. Pembaca bukunya masuk surga karena bimbingannya, dan dia di akhir hayatnya memilih neraka.

Karena pertimbangan yang mendalam itu, beliau akhirnya memilih menempuh jalan yang terang yakni mengurungkan niat untuk bunuh diri. Setelah peristiwa yang pelik itu, beliau bahkan sering kedapatan tengah membaca buku karangannya sendiri Tasawuf Modern. Tatkala ada yang berkomentar, “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!” Beliau menjawab:

“Memang! Hamka sedang memberikan nasihat kepada dirinya sendiri sesudah selalu memberi nasihat kepada orang lain. Dia hendak mencari ketenangan jiwa dengan buku ini. Sebab telah banyak orang memberitahukan kepadanya bahwa mereka mendapat ketenangannya kembali karena membaca buku, ‘Tasawuf Modern’ ini!” (Hal. 5-8)

Dari ulasan kisah tersebut dapat tergambar betapa luhurnya kandungan bait per bait di dalam buku Tasawuf Modern ini. Sampai-sampai sang penulisnya merasa segan dan takluk terhadap apa yang sudah dia tulis sendiri. Karena karangannya sendiri Saudara Hamka seolah-olah dipaksa untuk berdamai dengan jiwanya dan masa lalu yang telah dilalui.

Bahkan dalam kisah lain yang menjadi lanjutan disebutkan bahwa Saudara Hamka dengan lapang hati justru bersedia untuk memenuhi wasiat Sang Bapak Proklamator tatkala meninggal bahwa yang akan mengimami jenazahnya tidak lain dan tidak bukan adalah Saudara Hamka. Padahal, Bung Karno adalah sosok yang bertanggung jawab atas penahanan dan penyiksaan yang dialami oleh beliau. Sungguh, sebuah hubungan yang begitu pelik namun karib. Saudara Hamka telah mengajarkan kita betapa tidak perlunya menyimpan dendam. Karena karangannya sendiri jiwa Saudara Hamka seakan-akan didesak supaya menjadi cerah dan mencapai titik ketenangan dan kebahagiaan yang sejati seperti yang menjadi tujuan akhir dari para sufi atau orang-orang yang ahli dalam ilmu tasawuf.

Seperti yang telah diutarakan, buku yang bertajuk Tasawuf Modern ini sejatinya tidak terpaku pada pembahasan mengenai teori-teori atau konsep-konsep tasawuf secara spesifik. Buku ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai buku pembangun jiwa atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah self improvement. Memang, pada mulanya materi di dalam buku ini merupakan sebuah catatan Saudara Hamka yang bertajuk “Bahagia” pada sebuah rubrik dengan nama “Tasawuf Modern” di majalah Pedoman Masyarakat. Namun masyarakat secara umum justru lebih mengingat nama rubrik tersebut yakni Tasawuf Modern ketimbang tajuk aslinya yakni Bahagia. Sehingga tatkala catatan tersebut dijadikan sebuah buku untuk pertama kalinya pada bulan Agustus 1939 judul yang digunakan adalah Tasawuf Modern. Walaupun judulnya sudah berubah tetapi kandungan di dalam buku ini masih sama yakni membahas mengenai apa itu bahagia dan seluk beluk yang menyertainya.

Buku ini dengan sangat baik berusaha membawa pembaca untuk merekonstruksi pandangan hidupnya. Oleh karena itu, pada bab pembuka buku ini, Saudara Hamka terlebih dahulu memaparkan tentang definisi atau makna bahagia melalui kisah-kisah ilustrasi dan keterangan-keterangan dari pendapat para tokoh, bukan hanya tokoh Islam, beliau juga mengutip pendapat-pendapat para pemikir barat seperti Aristoteles bahkan Tolstoy. Uniknya, Saudara Hamka dengan ciamik dapat mengaitkan dan menyelaraskan hasil buah pikir mereka dengan dalil-dalil di dalam ajaran Islam. Hal itu semakin meneguhkan bahwa buku ini bukan semata buku keagamaan. Buku ini mempunyai dimensi yang luas di dalam membahas makna kebahagiaan yang sejati. Tidak salah kalau buku ini layak disebut sebagai buku pembangun jiwa atau self improvement.

Selain itu, kelebihan dari buku ini adalah dari segi penggunaan bahasa. Saudara Hamka sangat piawai di dalam menyusun kata-kata sehingga tidak jarang kita temui bahwa kalimat-kalimat di dalam buku ini seperti untaian syair atau kata-kata bak mutiara. Tentu saja, sebab selain sebagai seorang pemikir, Saudara Hamka masyhur sebagai seorang penyair. Tidak heran kalaulah tulisan-tulisan beliau, dalam bentuk apa pun, tidak pernah lepas dari unsur estetik. Kemudian, satu hal yang patut mendapat perhatian adalah bagaimana beliau dengan sangat lihai menggunakan peribahasa-peribahasa melayu untuk menjelaskan atau menerangkan suatu maksud yang ingin disampaikan. Hal tersebut adalah suatu hal yang unik dan langka di dunia kepenulisan era modern.

Satu hal yang mungkin menjadi kekurangan buku ini adalah gaya bahasa. Gaya bahasa yang digunakan oleh Saudara Hamka ini sangat kental melayunya. Hal itu barangkali karena beliau yang merupakan asli orang awak. Jadi, tidak heran kalaulah tulisan-tulisan beliau condong memakai bahasa melayu. Terlebih lagi, buku ini juga merupakan buku lawas sehingga banyak istilah-istilah atau ejaan-ejaan yang terasa asing bagi pembaca di era sekarang. Tidak ayal saat pembaca ingin memaknai suatu maksud kalimat di dalam buku ini kadang-kadang diperlukan dua atau tiga kali pemaknaan. (*)

*Agung Nur Ikhsan, lahir di Banjarnegara,  19 Maret 1999. Penulis adalah mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan Islam di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Dia juga bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto. Nomor Whatsapp 087731971350.


Judul buku: Tasawuf Modern
Pengarang: Buya Hamka
Peresensi: Agung Nur Ikhsan
Penerbit: Republika
Tahun terbit: 2015
Jumlah halaman: 377