Kesadaran Sosial dan Eksistensi Pancasila pada Wajah Kapitalisme Pemerintah
Syafiq Rahman. (dokpri)
Oleh: Syafiq Rahman (*)
Apabila dilihat secara harfiah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India, yang dapat dijabarkan dalam dua kata, yaitu Panca yang berarti lima, dan Sila yang berarti dasar
Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara sering disebut dasar falsafah negara, ideologi negara. Dengan kata lain, Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara ataupun dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945, sebagaimana tertuang dalam memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia (RI). Ketetapan MPR No.
V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai dasar negara tidak menghapuskan adanya perbedaan, tetapi merangkul semuanya sesuai dengan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Akan tetapi di era globalisasi saat ini eksistensi pancasila sering menjadi perdebatan publik dan menjadi urgensi pembicaraan hangat di meja perkopian mahasiswa. Hal itu tak lepas dari berbagai keresahan sosial masyarakat dimana terdapat banyak ketimpangan yang terjadi sehingga muncul paradigma bahwa pancasila hanya sebagai simbolik atau lambang saja.
Nilai-nilai suci yang terdapat dalam lima dasar pancasila cukup agung dan dapat mensejahterakan masyarakat apabila di implementasikan dengan benar. Hanya saja, diera modernis sekarang tidak ada kongkrit rasa nasionalis dan persatuan yang dibawa dalam kesadaran manusia, baik dari ranah penguasa (pemerintah) maupun masyarakat itu sendiri. Dalam konteks kepemerintahan cukup mengalami distorsi jabatan yang telah mereka gerakkan, artinya masih jamak kita lihat kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang ada diantara wajah-wajah pemerintah. Tentu menjadi pembelajaran yang sangat penting, bahwa pemerintah yang kapitalis perlu adanya tindakan nyata untuk menyelesaikan segala polemik yang terjadi agar suatu negara tetap berada dalam koridor yang positifistik dalam membangun bangsa yang lebih maju dan bisa bersaing dengan negara-negara lainnya.
Ada suatu adagium bahwa suatu negara yang maju dan sejahtera, tidak lepas dari peran seorang pemimpin (seorang penggerak). Dari hal ini tentu menjadi pertanyaan penting yang harus kita telisik guna mengetahui sejauh mana gerakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakatnya. Sebab dalam realitanya sendiri, jamak kita temukan tangisan pengemis dijalanan yang kehilangan ekonominya, masih kerap kita temukan masyarakat yang tinggal di kolong jembatan karena mereka tidak mendapat sentuhan bantuan aparat pemerintah. Cukup jelas problem seperti ini, seharusnya pancasila sebagai landasan berpikir dan bertindak pemerintah untuk memberikan solusi atas jawaban sosial yang telah terjadi.
Bagi penulis sendiri, hal yang harus dilakukan pertama kali oleh aparat pemerintah, ialah apabila mampu mendifinisikan tentang kesadaran. Tidak hanya berkutat pada kesadaran berpikir, tetapi juga hasrat kesadaran aksi (tindakan sosial). Artinya kesadaran tidak hanya muncul sebab teori atau suatu konsep yang telah dicanangkan untuk memecahkan problem, karena suatu teori tanpa aksi adalah suatu hal yang basi.
Konsep kesadaran seperti itulah yang penulis harapkan agar sifat maupun karakter yang ada pada wajah-wajah kapitalis pemerintah tidak lagi hanya mementingkan kepentingan penguasa tetapi juga melalui pembacaan sosial yang terjadi dalam lingkup masyarakat perlu adanya analisis dan solusi, sudah sejauh mana problem yang terjadi dapat terselaikan dengan baik. Manifestasi ini kembali lagi kepada eksistensi pancasila sebagai landasan atau dasar yang harus kita pegang untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya untuk menjadi kunci jawaban berguna dalam menjawab tantangan dan peluang yang terjadi dalam masyarakat.
Terakhir dalam tulisan ini, kesadaran sosial adalah suatu tindakan yang harus dilakukan dengan berparadigma pancasila sebagai pedoman, agar sesuatu yang menjadi kerasahan masyarakat mampu terjawab dan segala polemik yang terjadi tidak berkelanjutan. (*)
*Seorang pengarang kelahiran Madura. Merupakan mahasiwa Uin Suka (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) Prodi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Menulis Puisi, Cerpen dan Esai. Bergiat di Komunitas Majlis Sastra Mata Mena (MSMP).