Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PMII Sebagai Penguat Disiplin Nilai dan Kepemimpinan


Oleh: Rifqan Achmad Zarnoeji*

Organisasi hampir selalu dikotomi ke dalam organisasi massa atau kader, organisasi profesional atau organisasi politik, dan organisasi tradisional atau modern. Prinsip-prinsip dasar antara bentuk, isi, dan sifat tersebut nyaris tidak bisa disatukan. Andaipun bisa, maka akan selalu memunculkan kontradiksi di dalamnya.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) harus berani memilih tipologi atau karakteristik yang jelas, terdapat dua ciri yang khas melekat di dalam organisasi kader, yakni: (1) disiplin terhadap nilai, dan (2) disiplin terhadap institusi kepemimpinan (struktur). Dua bentuk kedisiplinan di atas tidak bisa ditawar. Menegasi salah satunya hanya akan membuat institusi (kelembagaan) menjadi pincang, menciptakan ketidak teraturan (disorder), dan menimbulkan kerapuhan. Di manapun ada institusi kader, maka kedua kedisiplinan ini selalu melekat.

Organisasi kader merupakan institusi yang teratur dan berjenjang, di mana, setiap orang bisa berperan sesuai kapasitasnya. Di antara masing-masing kader atau anggota bisa menilai apakah seseorang memiliki kapasitas melalui seperangkat peraturan-peraturan yang ada di dalam institusi atau bahkan seseorang bisa menyadari kapasitas dirinya sendiri melalui refleksi diri.

Organisasi kader bersifat ‘Suka Rela’. Seseorang dapat menjadi Anggota PMII hanya secara sukarela dengan kesadarannya untuk mencapai tujuan organisasi, menganut nilai-nilai organisasi, dan menjalankan prinsip serta peraturan-peraturan organisasi. Kesukarelaan yang ada di dalam organisasi kader, tentu saja berbeda dengan organisasi berbasis profesi atau profit (mendapat gaji). Di mana orang-orang di dalamnya cenderung hidup sendiri-sendiri dengan pertimbangan keuntungan material semata.

Di dalam organisasi kader, kepentingan individu telah termanifestasi menjadi kepentingan bersama (institusi). Munculnya ruang konflik yang mengakibatkan dis-integrasi institusi (kelembagaan), tidak adanya kebersamaan dalam mewujudkan visi organisasi, sama-sama menjunjung tinggi egoisme masing-masing antar pengurus.

Dalam hal ini, kemungkinan menjadi sangat kecil jika saja pemimpin institusi sebagai sebuah faktor utama di dalam organisasi dapat berjalan secara baik. Pada dasarnya, pemimpin memiliki otoritas untuk memilih berbagai opsi strategi. Strategi dan taktik yang digunakan dapat dinilai baik, manakala output-nya sesuai dengan tujuan organisasi.

Tulisan deskripsi dan usulan ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Namun, sangat diharapkan mampu memaksa PMII untuk terus memperbaiki sistem kaderisasi seiring dan sesuai perkembangan zamannya. Jika tidak, mudah-mudahan selalu muncul gagasan alternatif dari kader-kader PMII lainnya, yang bisa menjadikan institusi PMII lebih baik dan memiliki kemampuan adaptif terhadap tantangan terkini dengan karakteristik yang khas.

Namun, jika tetap tidak ada sama sekali agenda berupa gagasan-gagasan dan langkah-langkah konkret dalam upaya membenahi sistem organisasi, maka secara otomatis eksistensi dan peran institusi PMII akan terus memudar, bahkan institusi PMII bisa tenggelam dijaman sendiri. Na’udzubillah.

*Mahasiswa Unitri Malang, Sekarang sedang aktif dan menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Internal, Pengurus Komisariat PMII Country Unitri Malang, Periode 2016-2017.