Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramai-ramai Merusak Karst Lindung

Sejumlah perusahaan merusak kawasan lindung bentang alam karst di selatan Yogyakarta untuk proyek properti. Keraton Yogyakarta memfasilitasi terbitnya izin sewa pakai kawasan itu.

KENDARAAN bermesin berat memapras dua lereng bukit karst pada kawasan lembah menuju Pantai Seruni. Kontur alam lereng bukit di wilayah Tepus, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini telah hilang, pada Juli lalu. Tak ada lagi batang pohon dan rerumputan.

Eskavator telah meratakan lahan, dan membentuk bidang miring bukit menjadi undak-undakan besar. Dari lahan bertingkat-tingkat artifisial ini, pada pandangan ke selatan, terhampar pantai berpasir putih. Gulungan ombak Samudera Hindia menghantam bibir pantai bagian selatan Pulau Jawa ini.

Penduduk setempat biasa memancing dan menjala ikan di sekitar pantai ini. Para perempuan juga biasa memetik rumput laut liar yang tumbuh di bebatuan basah. Gugusan batu karang lahan rumput laut ini menjadi pembatas ujung barat dan ujung timur pantai berpasir. “Sebagian warga kami mencari makan di Pantai Seruni,” kata Supardi, Kepala Desa Tepus.

Pantai Seruni juga tempat singgah dan bertelur penyu, hewan yang merupakan penjaga keseimbangan ekosistem laut. Remah-remah dari aktivitas penyu memakan ganggang laut, membantu ikan mendapatkan makanan sehingga hewan berinsang itu tumbuh besar.

Pada Pantai Seruni -yang heningnya hanya pecah oleh deburan ombak, angin, dan suara burung- sedang dibangun proyek hotel dan resor bernama South Mountain Paradise. Proyek ini milik P.T. Gunung Samudera Tirtomas dengan bos Robinson Saalino. Ia merupakan direktur utama pada perusahaan yang bergerak dalam jasa konstruksi, properti dan pariwisata ini. Dalam master plan, Gunung Samudera Tirtomas akan membangun hotel dengan konsep tiga gedung dengan kolam renang utama di tengah, dikelilingi resor menghadap pantai.

Lembah karst ini sedang disulap menjadi bangunan megah mirip Atlantis Beach Tower Hotel di Paradise Island, Bahama. Proyek ini menempati lahan seluas 76 hektare. Maket, dan denah lokasi telah terpampang di Pantai Seruni.

Sejak Januari 2017 lalu, telah dibangun satu blok resor, pos penjagaan, dan gerbang menuju kawasan Pantai Seruni. Pada tembok gerbang yang kokoh, terpasang panel bertuliskan “South Mountain Paradise” warna emas.

Meski masih pada tahap awal, proyek ini juga telah dipasarkan melalui jaringan online, baik dalam situs perusahaan pengembang, maupun perusahaan pemasaran properti lain. Situs Gunung Samudera Tirtomas, misalnya, menawarkan South Mountain Paradise sebagai properti yang cocok untuk investasi maupun dipakai sendiri.

Perusahaan ini menyebutkan bahwa properti ini menyajikan pemandangan pantai yang eksotis, cocok untuk melepaskan penat bersama keluarga, dan bulan madu. Dengan harga mulai dari Rp 700 juta per unit, perusahaan akan membangun 390 unit kondotel, 80 resor, dan 70 vila.

Robinson menginvestasikan Rp 200 miliar untuk proyek ini. Hingga saat ini, ia mengaku telah mengucurkan Rp 20 miliar untuk tahap awal. Ia merencanakan akan menyelesaikan proyek ini pada akhir 2019. “Pada tahun 2020, kami siap beroperasi,” katanya.

Karst. (National Geographic)

Melanggar Tata Ruang

Di tengah gencarnya pemasaran South Mountain Paradise, proyek ini mendapat penolakan dari Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu. Koalisi yang beranggotakan di antaranya Walhi Yogyakarta, Forum Lembaga Swadaya Masyarakat Yogyakarta, Ikatan Mahasiswa Gunungkidul, Jogja Darurat Agraria, Pondok Pesantren Kalijaga ini mengajukan somasi atas proyek ini kepada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada 2 Agustus tahun lalu.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta Halik Sandera, Pantai Seruni berada di kawasan bentang alam karst Gunungsewu, suatu kawasan lindung geologi yang merupakan bagian dari kawasan lindung nasional. Proyek South Mountain Paradise, kata dia, berdiri di kawasan lindung, dan merusak lingkungan. “UNESCO dan Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkannya sebagai kawasan lindung geologi yang wajib dilestarikan demi keseimbangan alam dan pengembangan ilmu pengetahuan,” katanya.

Sesuai Undang-Undang nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Ruang, dan Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaran Tata Ruang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan surat keputusan tentang kawasan ini. Surat bernomor 3045 tahun 2014 itu menyatakan bahwa kawasan bentang alam karst Gunungsewu merupakan kawasan lindung seluas 1.100,17 kilometer persegi yang meliputi wilayah Kabupaten Gunungkidul, Bantul, Wonogiri, dan Pacitan.

Sebelumnya, telah terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam karst. Penetapan kawasan bentang alam karst bertujuan untuk melindungi kawasan karst yang berfungsi sebagai pengatur alami tata air.

Selain itu, kata Halik, penetapan kawasan itu untuk melestarikan kawasan karst yang memiliki keunikan dan nilai ilmiah sebagai obyek penelitian. Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa kawasan karst digunakan untuk penyelidikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Halik juga mengingatkan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Provinsi DIY. Perda ini menyatakan Gunungsewu sebagai kawasan lindung suaka alam sehingga dilarang mengubah bentang alamnya.

“Pada kawasan cagar alam…melarang mengubah bentang alam, penggunaan lahan, dan ekosistem yang ada.”
Perda Nomor 2 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah
Provinsi D.I.Y.

Kepada Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Halik juga mengecam karena proyek South Mountain Paradise melanggar aturannya sendiri. Peraturan Daerah Gunungkidul nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Gunungkidul menyebutkan bahwa wilayah karst Pegunungan Sewu masuk dalam kawasan lindung. Sehingga, tak boleh ada kegiatan yang merusak bentuk dan ekosistem karst.

Bos PT Gunung Samudera Tirtomas Robinson Saalino menampik tudingan adanya pelanggaran dalam proyek South Mountain Paradise. Ia mengklaim telah mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, yakni izin lokasi, izin prinsip, dan izin ruang.

Bagi Robinson, dengan berbekal izin tersebut, cukup untuk bisa membangun South Mountain Paradise. Ia mengakui belum memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal, dan Izin Mendirikan Bangunan. “Kami sedang mengurus izin Amdal dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Memang di lokasi sudah ada kantor. Di lokasi, infrastruktur sudah jadi, listrik dan air sudah masuk,” katanya.

Karst. (National Geographic)

Ramai-ramai memapras karst

South Mountain Paradise bukan satu-satunya proyek yang memapras kawasan karst di kawasan pantai selatan Gunungkidul, Yogyakarta. Masih di Kecamatan Tepus, persisnya di Desa Purwodadi, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan rekomendasi tata ruang untuk PT Jogan Properti pada Juli 2016 lalu. Perusahaan ini membangun resor pada lahan seluas 1 hektare.

Berjarak sebelas kilometer ke arah barat dari Tepus pada South Mountain Paradise, pengusaha Enny Supiani menguasai kawasan Pantai Watukodok sejak 2011 lalu. Bos PT Suara Samudera Selatan ini hendak membangun resor di kawasan seluas tujuh hektare.

Kedatangan Enny di Watukodok menimbulkan masalah dengan penduduk setempat karena klaim kepemilikan tanah. Suwarno, penduduk Desa Kemadang, lokasi Pantai Watukodok mengatakan, Enny akan mendirikan resor di tanah garapannya. Menurut dia, Enny menyatakan telah memiliki surat rekomendasi tata Ruang dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, dan Surat Kekancingan dari Penghageng Tepas Panitikismo yang biasa disebut Panitikismo. Dalam struktur Keraton Yogyakarta, Panitikismo berwenang mengurus Sultan Ground, atau tanah milik Keraton Yogyakarta. “Kami menolak tanah garapan kami diambil,” kata Suwarno. Di Watukodok, Suara Samudera Selatan telah memapras setidaknya satu hektare lahan karts di kawasan lindung Gunungsewu untuk menyiapkan desain lanskap.

Penghageng Tepas Panitikismo, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto –adik kandung Sultan Hamengkubuwono X–Hadiwinoto mengakui beberapa kali didatangi Enny Supiani untuk mengurus kekancingan di Watukodok. Menurut Hadiwinoto, Enny sudah mendapatkan kekancingan dengan nilai sewa Rp 160 juta untuk sepuluh tahun. “Dia mau bangun resor. Coba kalau di Bali harganya berapa puluh juta per tahun,” kata Hadiwinoto.

Tempo tiga kali mendatangi rumah Enny Supiani di Jalan Permata Timur, Pondok Kelapa, Duren Sawit Jakarta Timur. “Ibu sedang tak ada di rumah,” kata seorang yang mengaku sebagai pekerja rumah tangga Enny, dan menyampaikan surat permohonan wawancara. Tapi, Enny tak menjawab.

Ada lagi perusahaan lain yang mengelola kawasan wisata berbekal surat rekomendasi dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kabupaten Gunungkidul. Perusahaan itu adalah PT Pantai Baron yang mendapatkan rekomendasi tata ruang untuk membangun hotel, vila, pondok wisata, dan bumi perkemahan pada Januari 2015 lalu.

Perusahaan milik pengusaha Dicky Tjokrosaputra ini mengembangkan bisnis wisata senilai Rp 336 miliar di kawasan Pantai Baron di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari dengan luas 28 hektare. Kepala Desa Kanigoro, Santoso mengatakan Dicky memang telah mengajukan izin tata ruang di lahan wilayah desanya. “Pak Dicky akan membangun hotel berbintang,” katanya.

Perusahaan lain, PT. Muncul Properti Group menggarap hotel di kawasan lindung seluas 12 hektare dengan membangun hotel di Girijati, Kecamatan Purwosari. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan izin rekomendasi untuk Muncul yang dimiliki pengusaha Soekeno ini pada 5 Mei 2015 lalu. Pada Februari lalu, Tempo berhasil mengontak Soekeno. Lewat telepon, ia minta Tempo mengirimkan daftar pertanyaan ke alamat emailnya. “Ke mc_keno@indo.net.id,” katanya. Namun, setelah itu, Soekeno tak memberikan jawaban apa pun atas usaha konfirmasi dari Tempo.

Masih di Girijati, perusahaan lain, PT Garuda Parang Samudera juga mendapatkan rekomendasi tata ruang dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada Juli 2014 lalu. PT Garuda membangun hotel dan resor pada lahan seluas 6,5 hektare.

Adapun PT Argenta Persada Selaras mendapatkan rekomendasi tata ruang untuk membangun resor di Pantai Drini pada 2013 lalu. Argenta yang dimiliki pengusaha Agung Tobing ini membangun resor senilai hampir Rp 17,5 miliar. Menurut Joko, Ketua Kelompok Sadar Wisata Pantai Drini, Agung Tobing memanfaatkan lahan di sebalah timur pantai Drini sebagai bukti pengajuan izin ruang.

Tempo mencoba melihat lokasi lahan tersebut. Portal menghalangi masuk ke lahan itu. Di dekat portal terpampang desain perencanaan proyek. “Warga asli Drini pun dilarang masuk lahan ini,” kata Joko. Tempo sempat janjian bertemu dengan Agung Tobing untuk mengkonfirmasi perihal lahan ini. Ia menjanjikan menemui Tempo pada Mei lalu. Namun, hingga saat janjian bertemu, Agung membatalkannya. “Saya sedang di luar kota,” kata Agung.

Pada Januari 2016, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengeluarkan rekomendasi tata ruang untuk PT Anugerah Heha Jaya pada lahan seluas hampir 1 hektare. Perusahaan ini membangun gardu pandang di Patuk. “Perusahaan-perusahaan itu mengajukan permohonan rekomendasi untuk mendapatkan hak sewa pakai di Sultan Ground,” kata Bupati Gunungkidul Badingah.

Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu Adnan Pambudi menyatakan diobralnya rekomendasi oleh Pemerintah Kabupaten Gungkidul inilah yang mempercepat perusakan kawasan lindung karst Gunungsewu. Kegiatan pembangunan hotel, resor, dan sejenisnya di pantai selatan Gunungkidul, kata Adnan, melanggar konstitusi, dan melanggar atura. “Proyek itu harus dihentikan. Status hukum karst Gunungsewu adalah kawasan lindung, dilarang mengubah bentuk dan ruangnya,” katanya.

Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menerbitkan rekomendasi pengelolaan kawasan lindung itu di atas tanah yang berstatus Sultan Ground, atau tanah kasultanan. Keraton berpatokan bahwa tanah kosong yang tidak dimiliki oleh penduduk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan tanah milik kesultanan.

Dasar hukum keraton adalah Rijksblad Kasultanan atau Lembaran Kesultanan nomor 16 yahun tahun 1918, dan Rijksblad Paku Alaman atau Lembaran Paku Alaman nomor 18 tahun 1918. Dokumen Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Gunungkidul menyatakan hampir seluruh tanah di pesisir pantai merupakan tanah Sultan Ground. “Hampir sepanjang pantai di wilayah Gunungkidul adalah tanah Sultan Ground,” kata Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Gunungkidul Winaryo.

Karst. (National Geographic)

Orang-orang Dekat Keraton

Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu Adnan Pambudi mencium gelagat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mudah memberikan rekomendasi karena tak berdaya menghadapi permintaan Panitikismo. Ia menduga, para pengusaha yang selama ini memang dekat dengan keraton, mengurus rekomendasi ke Pemerintah Kabupaten Gunungkidul setelah mendapat persetujuan dari pejabat keraton. “Kalau tak ada persetujuan dari keraton, saya kira Pemerintah Gunungkidul tak akan berani mengeluarkan rekomendasi,” katanya. Adnan menyatakan tak mengetahui proses detail pengusaha dan pejabat keraton melakukan lobi-lobi agar keluar izin pengelolaannya.

Pengakuan seorang utusan pengusaha menguatkan tudingan Adnan. Sumber ini mendapatkan tugas mengurus rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dari pengusaha yang akan memanfaatkan kawasan lindung di atas Sultan Ground. Ia mengurus rekomendasi setelah bosnya mendapatkan persetujuan atau kekancingan dari pejabat keraton yang mengurus pertanahan. “Kami ngasih (nyogok) mas. Kalau nggak, tak akan terbit rekomendasi dan kekancingan,” katanya.

Bos PT Gunung Samudera Tirtomas Robinson Saalino mengakui telah bertemu pejabat Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk mengurus izin proyek South Mountain Paradise. Namun, ia tak menyebutkan nama pejabat yang ia temui. Robinson menjelaskan bahwa seluruh pantai di Gunungkidul itu merupakan milik Keraton, bukan milik negara. Perihal dugaan adanya sogokan di balik terbitnya rekomendasi tata ruang dan kekancingan dari keraton, Robinson membantah. Ia mengakui hanya mengeluarkan uang untuk, “Sekadar ngopi-ngopi dan buat transpor.”

Keterlibatan Hadiwinoto dalam urusan perizinan pengelolaan tanah milik keraton dengan status sewa pakai diungkapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Gunungkidul Achmad Suraya. “Akta perusahaan PT. Samudera Gunung Tirtomas pernah diminta oleh Kanjeng Gusti Prabu Haryo Hadiwinoto melalui utusannya,” kata Achmad.

Hadiwinoto membenarkan telah meminta akta perusahaan sebagai bukti keseriusan perusahaan untuk mengurus izin sewa-menyewa tanah kasultanan. Akta perusahaan ia minta untuk mengetahui pemilik dan direktur perusahaan yang sedang menjalin kerja sama dengan Kasultanan. “Ini supaya jelas,” kata Hadiwinoto.

Ia membantah kenal Agung Tobing, Soekeno, dan Dicky Tjokrosaputra yang telah mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk mengelola lahan lindung di atas Sultan Ground. “Saya enggak kenal. Belum ada permohonan dari mereka,” katanya. Hadiwinoto menyatakan, kekancingan akan dikeluarkan dengan syarat mengurus lebih dahulu rekomendasi tata ruang dari pemerintah kabupaten.

Karst. (National Geographic)

Penyimpan Cadangan Air yang Terancam

Gunungsewu atau Pegunungan Sewu merupakan kawasan bentang alam karts yang mempunyai karakteristik berbentuk bukit dengan lapisan tanah tebal. Ahli hidrologi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Tjahyo Nugroho Adji mengatakan, ada dua tipe karst Gunungsewu: eksokarst dan endokarst. Pada eksokarst terdapat mata air, bukit karts, dolina, uvala, polije. dan telaga. Sedangkan pada endokarst terdapat sungai bawah tanah.

Karst Gunungsewu tidak hanya berada kawasan perbukitan. Tapi, juga membentang di kawasan pantai di Gunungkidul. Cirinya adalah batuan gamping yang melekat di wilayah pesisir pantai. Secara ilmu pengetahuan, kata dia, kawasan karst itu batasnya sampai pantai. “Pantainya itu karst. Ada ciri karst seperti mata air. Ada gamping tapi tidak inti. Tebing pantai juga karst,” tutur Adji saat ditemui di kantornya, Februari lalu.

Badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa, Unesco (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations) pun menetapkan Gunungsewu sebagai kawasan Geopark. Setidaknya, di kawasan ini, telah ada temuan 11 geosite yang tersebar di beberapa kecamatan. Banyak juga ahli yang mengkaji Gunungsewu sehingga Unesco minta kawasan ini dilindungi. Keindahan karst Gunungsewu tidak hanya ada pada permukaan tanah, tapi juga di bawah tanah. Kandungan air yang melimpah tersembunyi di dalamnya.

Tjahyo, dalam penelitiannya, menemukan 79 mata air. Debit air pada umumnya stabil, meski ada juga yang bersifat sesaat. Tjahyo mencatat, di Kecamatan Ponjong terdapat tujuh mata air, Semanu dan Paliyan masing-masing satu mata air, Playen dua mata air, Purwosari 27 mata air, Panggang 12 mata air, Tanjungsari lima mata air, Kecamatan Tepus 15 mata air dan Kecamatan Girisubo 12 mata air.

Tjahyo yang juga penelusur gua mengatakan, selain kaya debit mata air, Gunungsewu juga berlimpah ponor atau lubang masuknya aliran air ke dalam tanah, dan keanekaragaman hayati. Ponor ini membawa air ke dalam sungai ke bawah tanah yang kemudian dialirkan ke mata air yang berada di wilayah pesisir pantai. Ia menyatakan, ada 40 ribu bukit di Gunungsewu. Artinya, ada 40 ribu ponor juga di kawasan ini.

Ia menjelaskan, ada skema perjalan air yang tidak banyak diketahui. Seperti mata air yang cendrung bersifat dinamis. Ketika musim kemarau tiba, cadangan air bisa dimanfaatkan masyarakat. Sebab, air secara alamiah tersimpan dalam perbukitan karts. Ada juga mata air yang bersifat menahun atau dikenal sebagai ferenial. Mata air yang seperti ini akan mengalir air terus menerus sepanjang tjahun. “Karts penyerap air yang potensial. Hujan itu disimpan di bukit itu yang di dalamnya banyak sumber air bawah tanah,” kata Adji.

Ribuan gua di Gunungsewu juga telah berhasil diidentifikasi oleh para peneliti, dan telah diberi nama. Tjahyo pernah menelusuri dan menjelajahi gua-gua itu. Ia menceritakan pengalamannya saat masuk ke dalam gua, baru-baru ini. Ia dan timnya menemukan keunikan speleologi berupa teratai karst yang sangat langka di dunia. Dalam kajiannya, teratai karst itu hanya ada di Gunungsewu.

 

Foto: Ilustrasi perbedaan endokarst dan eksokarst. (Sumber: Shutterstock)

Peneliti UGM lainnya, Widyastuti mengatakan, penanganan lingkungan karst, sangat berbeda dengan yang bukan karst. Sebab, kata dia, limbah yang tercemar di kawasan karst lebih berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan yang cukup signifikan. “Karst berbeda secara hidrologi dengan kawasan lain,” katanya.

Ia menjelaskan, biasanya limbah yang dihasilkan oleh industri perhotelan atau resort lebih cendrung banyak limbah domestic. Biasanya banyak kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) dan limbah mandi, cuci, dan kakus. Sehingga, kegiatan di kawasan karst tak boleh sembarangan. Apalagi, jika karst itu masuk kawasan lindung.

Widyastuti pernah melakukan riset kerentanaan air sungai bawah tanah di wilayah Bribin, Gunungkidul, yang juga masuk kawasan Gunungsewu. Hasilnya cukup mengagetkan. Sebab tingkat pencemaran air bisa mencapi 50 persen. Ini akibat limbah domestik dari masyarakat yang membuangnya melalui sungai, ponor, dan telaga. “Kami menemukan ada logam berat,” katanya.

Widyawati mendesak pemerintah agar memperhatikan risiko kerusakan alam di kawasan karst Gunungsewu. Menurut dia, jika pemerintah terlalu permisif memberikan tata ruang untuk investor, tapi tak memperhatikan aspek bawah tanah, maka kerusakan lingkungan bisa membahayakan siapa pun.

Senada dengan Widyawati, Tjahyo juga mendesak pemerintah melakukan pengawasan yang ketat agar kawasan karst tak dirusak. Kalau kawasan karst dikepras, maka akan ada dampak signifikan pada cadangan air. “Simpanan air bisa hilang,” katanya.

Karst. (National Geographic)

Wawancara KGPH Hadiwinoto:
Lahan Sultan Ground Kewenangan Saya

Kawasan bentang alam karst Gunungsewu berada di atas tanah milik Keraton Yogyakarta, atau Sultan Ground. Kawasan lindung yang ditetapkan pemerintah pusat itu, sebagian disewakan ke pengusaha melalui hak sewa pakai yang diterbitkan Keraton melalui surat yang disebut kekancingan.

Untuk menjawab sejumlah persoalan kawasan lindung di atas Sultan Ground, Abus Somad dari Tempo mewawancarai Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto. Ia adalah adik kandung Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Hadiwinoto adalah anak Sultan Hamengkubuwono IX dari istri Windyaningrum.

Dalam struktur Keraton Kasultanan Yogyakarta, Hadiwinoto, menduduki jabatan Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parastra Budaya dan Penghageng Tepas Panitikismo. Salah satu tugas utama dia dalam struktur keraton adalah mengurusi tanah Sultan Ground.

Berikut ini petikan wawancara yang berlangsung di kantor Hadiwinoto di Jogja City Mall, Jalan Magelang, Yogyakarta pada 27 Februari lalu.

Anda menjadi pejabat Keraton Yogyakarta yang mengurusi pertanahan. Bagaimana keraton memberlakukan Sultan Ground dan kekancingan?

Sebelum ada Undang-Undang Keistimewaan (UUK), sebelum adanya Peraturan Daerah Istimewa (Perdais), sebelum ada petunjuk teknis, Keraton sudah melaksanakan itu sudah sejak dulu, tapi bentuknya beda. Sebelum adanya UUK ini, kekancingan itu berupa pinjam pakai tanah Karaton. Judulnya ini beda. Nanti, ada tiga hak yang bisa diakses masyarakat maupun institusi. Hak magersasi yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan dan Keraton. Ada hak anggaduh untuk masyarakat, ini bisa dalam wujud tanah kosong yang nanti bangunannya adalah bangunan milik pemohon. Lalu hak anganggo, ini tanah dan bangunannya milik Kasultanan maupun Kadipaten.

Di DIY ini, sejak tahun 1920, data mengenai tanah Karaton sudah lengkap. Kalau di desa ada yang namanya leger. Peta desa yang berupa persil-persil tanah SG. Kalau di kota, data sudah lengkap dan dikeluarkan sertifikat atas tanah sejak tahun 1920. Baik untuk hak-hak barat. ada gebrai, ada RVO atau eigendom, dan hak-hak Timur Asing, biasanya untuk masyarakat keturunan Tionghoa.

Foto: KGPH Hadiwinoto (kanan). (Ist)

Bagaimana cara untuk mengurus kekancingan?

Pemohon harus membawa identitias, KTP, Kartu Keluarga untuk perorangan. Kalau lembaga aktanya harus jelas. Aktanya kami minta selain data pengurus, nanti diatasnamakan siapa, dan direktur utama mewakili badan hukumnya. Ini supaya jelas, kalau yayasan ya aktanya harus jelas, untuk apa. Dipakai untuk apa, harus jelas.

Harus menggunakan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)?

Apa aku yo ngarang dewe harganya. Di Gunungkidul, misalnya, aku ya sik mumet, mau pakai dasar apa. Nilai strategis tanah kan beda-beda, pinggir jalan misalnya. Jalan pun jalan gede satu arah sama dua arah beda NJOP-nya, dari pada saya susah-susah ngarang.

Mengapa perusahaan yang akan menyewa Sultan Ground harus menyerahkan akta perusahaan?

Karena usahanya atas nama perusahaan. Saya enggak mau mengadakan perjanjian kucing dalam karung. Harus jelas, anda siapa. Lha ada rumor kan banyak yang orang Jakarta yang sudah borong 10 hektare, 20 hektare, katanya.

Bagaimana kalau tanah Sultan Ground ada di atas tanah lindung?

Pada dasarnya semua tanah milik Karaton. Aslinya tidak hanya Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul. Tapi juga Madiun, Kertosono, Blora, Banyumas, gitu lho. Jadi, itu berdasarkan Perjanjian Giyanti. Lalu berkurang sedikit karena ada Pakualaman. Derah Adikarto dan yang dulu Muntuk lapangan terbang, itu ya tanah Sulta Ground. Lereng Merapi yo tanah keraton.

Pada kawasan lindung, kan tidak boleh diubah bentuk dan ruangnya?

Boleh saja. Kami sama pemerintah itu saling mengisi. Ini kan setelah NKRI. Yang saya ceritakan tadi sebelum bergabung ke NKRI. Tak mungkin Keraton bertentangan dengan pemerintah. Justru kami menghindari benturan. Izin yang kami keluarkan dengan tata ruang atau keputusan pemerintah. Justru ini yang kami jaga. Misalnya mengenai penambangan karst Gunungkidul, sebelum kami izinkan, mana rekomendasi pemerintah Gunungkidul, tata ruang mengenai karst, mana izin dari ESDM tingkat satu, mana izinnya dari pusat. Harus lengkap dulu. Kalau gak ada, ya saya tolak.

Pemerintah telah menetapkan kawasan karst Gunungsewu sebagai kawasan lindung, tapi mengapa Panitikismo tak memperhatikan itu dalam memberikan hak sewa pakai?

Kurang tahu, kalau izin gitu kan izin pemerintah daerah. Kalau pemerintah daerah mengizinkan, ya sudah. Sebab, kewenangan saya pada lahannya. Kewenangan mendirikan hotel ada pada pemerintah daerah, bukan pada saya. Apakah izinnya untuk hotel, untuk restoran, untuk panti pijat itu, urusan pemerintah daerah, bukan urusan saya. Makanya saya memberikan izin, setelah rekomendasi dari pemerintah daerah dipegang.

Anda mengenal Eny Supiani yang akan membangun resor di Watukodok?

Kenal.

Anda pernah beberapa kali bertemu dengan Enny?

Iya.

Enny langsung mendapatkan kekancingan?

Iya.

Kami mendapatkan informasi untuk mengurus kekancingan harus membayar mahal, hingga ratusan juta?

Terus terang, Rp 160 juta di pantai, untuk bangun hotel untuk sewa pakai Bsepuluh tahun. Coba pantai di Bali, harganya berapa puluh juta…

Artinya semua kekancingan menuliskan nominalnya?

Tertulis nominalnya, tertulis jangka waktunya, dan itu untuk 10 tahun. Jadi setahun cuma berapa, Rp 160 juta 10 tahun, berarti Rp 15 jutaan setahun, coba.

Uang kekancingan untuk apa?

Keraton dari dulu kan mandiri. Urusan upacara adat, kami biayai sendiri. Mengurus aset, upacara adat, ada grebek, ada gunungan, ada sekaten, dari kekancingan.

Bukankah itu dianggarkan dari dana keistimewaan dari pemerintah pusat?

Enggak, saya tolak.

Mengapa Anda menolak?

Itu kewajiban keraton. Keraton punya duit sendiri. Kewajiban keraton buat gunungan, bukan pakai duit pemerintah. Kami punya harga diri dan kehormatan.

Artinya, dana kesitimewaan tidak dimanfaatkan keraton untuk aktivitas?

Ada, misalnya renovasi bangunan. Tapi tidak berupa dana, berupa poyek yang melaksanakan dinas.

Uang hasil kekancingan cukup untuk membiayai aktivitas Keraton?

Ya nggak, kalau untuk renovasi ya gak cukup. Paling per tahun hanya berapa yang kami terima.

Selain Enny Supeni, ada sejumlah investor lain seperti Agung Tobing, Soekeno, Dicky Tjokrosaputra yang juga akan menyewa Sultan Ground. Mereka pengusaha yang dekat Keraton sehingga pemerinta Gunungkidul tunduk pada tekanan Keraton?

Enggak.

Anda kenal mereka kan?

Enggak.

Mereka sudah menguasai lahan, sudah mengajukan kekancingan?

Belum. Belum ada.

Ada yang bilang harus menyogok untuk mengurus kekancingan?

Nggak.


Sumber: https://investigasi.tempo.co/karst-yogyakarta/