Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menakar Hiruk Pikuk Kebangkitan Nasional


Oleh: Ahmad Fairozi*

Lahirnya Hari Kebangkitan Nasional

Terbentuknya Sarekat Dagang Islam tahun 1905 di Solo, menjadi ikhwal lahirnya kebangkitan nasional. Organisasi yang pada 1906 berubah nama menjadi Sarekat Islam tersebut, berhasil menjadi organisasi pergerakan, menandingi dominasi pedagang Cina waktu itu.

Selanjutnya, pada 20 Mei 1908 lahirlah Boedi Oetomo yang didirikan Dr Sutomo. Organisasi tersebut bersifat sosial, ekonomi dan kebudayaan. Tujuan organisasi ini merupakan gerakan dalam mencapai kemerdekaan.

Puncaknya kebangkitan ini adalah tercetusnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang merupakan ikrar seluruh elemen pemuda pada zaman penjajahan. Ini sebuah cara bersama mempersatukan kekuatan, terutama pemuda yang dikenal dengan sebutan “jong” di seluruh Nusantara (Wikipedia).

Kebangkitan bangsa Indonesia dimulai dari Sarekat Islam, Boedi Oetomo dan Sumpah Pemuda. Hal tersebut kemudian diputuskan, 20 Mei setiap tahunnya sebagai peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di Indonesia.

Reaktualisasi Harkitnas Bagi Generasi Muda

Sejarah panjang bangsa ini menunjukkan bahwa kebangkitan untuk berdaulat di negeri sendiri sudah terjadi cukup lama. Itu menandakan, masa kelam bangsa ini terjadi pada kurun waktu yang panjang, sehingga perlu kebangkitan bersama dalam membebaskan diri dari segala bentuk penindasan.

Tidak hanya karena bangsa ini dijajah secara fisik, melainkan terjajah secara ekonomi, budaya, politik dan pendidikan.

Sejak reformasi tahun 1998, paradigma pemuda seakan sudah terbebaskan dari kungkungan penjajah. Dengan alasan, Indonesia sudah merdeka sejak Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, tepatnya 70 tahun silam. Parahnya, hal tersebut hari ini menghegemoni bangsa Indonesia, terutama pemudanya.

Betapa tidak berdayanya kondisi perekonomian rakyat Indonesia saat ini, didukung dengan pelemahan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar AS, diperparah dengan makin banyaknya serbuan produk asing, entah produk kebutuhan pokok maupun lainnya dengan harga yang relatif lebih murah dari pada harga hasil produk dalam negeri.

Ketidaksiapan bangsa ini dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) kian terlihat dengan ketidakberdayaan Indonesia secara ekonomi.

Budaya Nusantara semakin hari terkikis, tergantikan dengan budaya kapitalis dan liberalis yang disuplai dari budaya barat, bukan budaya asli Nusantara. Semakin memperburuk semangat kebangkitan nasional seperti yang telah dilakukan dahulu kala sebelum kemerdekaan.

Kondisi politik dalam negeri yang hingga saat ini belum stabil, turut menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia. Upaya memperlemah kekuatan politik juga terjadi saat Indonesia mencoba menegakkan hukum, dengan menghukum mati bandar narkoba yang selama ini merusak generasi bangsa ini.

Pendidikan yang diharapkan menjadi jalan keluar dalam mencerdaskan bangsa ini, juga belum berhasil. Pendidikan saat ini diorientasikan pada ranah kerja dan identitas semata. Disparitas dalam dunia pendidikan seakan menjadi hal yang sangat wajar terjadi pada era reformasi ini.

Beberapa uraian diatas menurut hemat penulis adalah masalah bangsa Indonesia yang hingga saat ini belum berdaulat, dengan lemahnya bangsa ini dalam berbagai leading sector yang ada, menunjukkan kualitas generasi bangsa Indonesia seakan stagnan pasca merdeka, dan reformasi.

Mengambil hikmah dari peringatan Harkitnas, bahwa semangat akan kebangkitan tidak harus dengan selalu melakukan demonstrasi di sudut-sudut kota, namun lebih penting bagi generasi muda memperbaiki diri dengan menata soft skill, mentalitas dan disiplin ilmu.

Dengan nilai tawar tersebut, secara tidak langsung kita turut membantu mempersiapkan kedaulatan bagi bangsa dan negara Indonesia.

*Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).


Note: Artikel ini pernah dimuat di MalangTimes.com pada 21 Mei 2015, dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.