Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Virus


Oleh: Puri Bakthawar*

“Mengapa orang Islam acap terlihat dekil, kumuh, dan jorok?”

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Majnun, seorang mahasiswa tingkat akhir salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta, tatkala khatib salat Jumat tengah bertutur mengenai kebersihan yang merupakan sebagian dari iman.

Para jemaah kaget. Tidak biasanya khotbah Jumat yang khidmat diselingi oleh pertanyaan dari salah seorang jemaah.

Tak perlu menjadi ahli agama untuk mengerti bahwa yang dilakukan Majnun ialah tindakan dungu. Semua orang tahu bahwa haram hukumnya berbicara pada saat khatib berkhotbah. Peringatan itu ditempelkan rapat-rapat pada dinding-dinding masjid. Dicetak dengan huruf kapital yang ditebalkan, lengkap dengan dalil yang menguatkan.

Selamanya, Takdir Sukab adalah Penonton Teater Politik

“Jangan bertanya saat khotbah!” bentak jemaah pada shaf paling depan.
“Kalau mau bertanya, tanyakan di ruang kelas! Bukan di masjid!” tukas jemaah dengan kacamata kuda.
“Apa dia sedang mabuk?” tanya jemaah yang terlihat mengantuk.
“Pasti mahasiswa filsafat. Perilakunya suka aneh!” tuduh mahasiswa jurusan Ilmu Keguruan.
“Pasti mahasiswa akhir yang depresi karena dikejar skripsi!” bisik seorang mahasiswa tingkat akhir pada jemaah di sebelahnya.
“Ssst!”

***

Peristiwa di masjid kampus itu berlalu begitu saja. Para jemaah yang juga warga kampus kembali pada kehidupan masing-masing. Tetek bengek tugas kampus menenggelamkan pikiran para calon cendekia pada kesibukan hingga menganggap kejadian yang terjadi suatu Jumat itu sebagai angin lalu. Sebagai selingan konyol dalam roda aktivitas yang penat dan kontinu.

Namun ketika Majnun kembali menunjukkan laku aneh pada salat Jumat berikutnya, para jemaah benar-benar tersentak.

“Mengapa orang Islam gemar marah-marah atau bahkan tak segan untuk membunuh?”

Pertanyaan itu terlontar dari mulut, siapa lagi kalau bukan Majnun, tatkala khatib berceramah tentang agama sebagai penebar kedamaian dan toleransi.

“Jaga mulutmu! Islam agama damai!” teriak jemaah berkupluk putih di shaf sebelah kanan.
“Dia disesatkan arus informasi!” sergah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi.
“Tapi faktanya para teroris memang beragama Islam!” pekik sebuah suara entah dari mana.
“Ini konspirasi Amerika yang didalangi Israel! Dulu mereka memusuhi komunis. Sekarang mereka memusuhi Islam!” seru seorang jemaah bercelana cingkrang.
“Ssst!”

Suara gaduh sidang Jumat menggaung ke segala arah.

“Tenang, harap tenang!” himbau khatib yang mulai kelabakan. “Ingat, ini salat Jumat! Bukan ring tinju atau arena debat kusir. Dilarang bicara pada saat salat Jumat. Kecuali saya sebagai juru khotbah!”

Halaman Gelap Modernitas Jepang

Majnun diringkus keluar dari masjid oleh beberapa jemaah karena mengganggu ketertiban salat Jumat. Ia diperbolehkan mengikuti salat dari luar masjid, asalkan mau menutup mulutnya yang tak tahu diri.

***

Setelah berbagai keonaran yang ditimbulkannya, Majnun menjadi terkenal. Namanya kondang, selalu disebut dalam obrolan di sudut-sudut kampus. Ia dianggap gemblung, terganggu jaringan otaknya dan tidak waras, seperti halnya namanya sendiri: Majnun.

Warga kampus menyangka bahwa Majnun adalah mahasiswa tingkat akhir yang dilanda stres karena beban skripsi. Tekanan skripsi yang tidak kunjung rampung sering kali mengakibatkan goncangan kejiwaan pada mahasiswa tingkat akhir. Hal itu sebetulnya wajar dan banyak dialami oleh orang lain. Namun karena Majnun telah menunjukkan gelagat menyimpang dan mengusik ketenteraman hidup bersama, sekelompok pengurus masjid kampus merasa perlu melakukan tindakan.

Pada Jumat berikutnya, para pengurus masjid memasang mata untuk mendeteksi kedatangan Majnun. Mereka tak ingin Majnun kembali berulah. Tatkala Majnun tiba untuk menunaikan salat Jumat, tanpa buang waktu mereka segera mengepung Majnun.   

“Saudaraku, bukannya kami bermaksud untuk menghalangi engkau beribadah. Namun engkau telah dua kali berbuat onar di masjid ini,” seru salah seorang pengurus.

“Maka dari itu, salatlah di masjid lain. Kami tak ingin ketenangan di masjid ini terusik!” sambung pengurus yang lain.

Hening. Angin berhembus lirih, menerpa dedaunan di pohon-pohon di pelataran masjid. Para jemaah yang berdatangan untuk menyambut panggilan Tuhan sesekali menolehkan mata pada kejadian itu.  

Majnun melangkahkan kakinya dengan ringan. Tak ada kata-kata meluncur dari lidahnya untuk membantah para pengurus masjid, atau sebagai pembelaan diri. Masih banyak masjid di sekitar kampus yang dapat dijangkaunya. Bagi Majnun, yang penting ia masih dapat mengikuti salat Jumat dan tidak terlambat.

Dalam beberapa detik, bayangan Majnun hilang dari pandangan para pengurus masjid.

Yang Tertinggal dari Reruntuhan Kemanusiaan

“Dasar sinting!” gumam salah seorang pengurus masjid, sambil menempatkan jari telunjuk di dahinya dengan posisi miring.

***

Bukannya berakhir, keonaran yang dibuat Majnun justru makin melebar. Dari Jumat ke Jumat, selalu ada keluh kesah dari masjid-masjid di sekitar kampus, bahwa seorang jemaah mengganggu jalannya khotbah dengan pertanyaan yang tidak pada tempatnya.

“Dia bertanya tentang kompleks pelacuran yang ditutup ketika khotbah menyampaikan tentang surga dan neraka!”
“Dia bertanya tentang Tuhan yang sedang bermain dadu ketika khotbah bertutur tentang takdir!”
“Dia bertanya tentang bidadari di surga ketika khotbah berbicara perihal adab berumah tangga!”

Dan berderet pertanyaan lainnya.

Gerak-gerik Majnun yang meresahkan warga membuat para pengurus masjid kampus merasa terpanggil untuk bergerak. Penyimpangan laku menjurus kesesatan yang ditunjukkan Majnun seperti halnya virus yang dapat menular apabila tidak diluruskan.

Para pengurus masjid mendatangi kamar sewaan Majnun yang terletak pada sebuah kampung di sebelah selatan kampus. Pintu kamar itu terbuka, tidak dikunci, yang membuat para pengurus masjid leluasa masuk ke dalamnya.

Mereka tidak menemukan Majnun. Kamar itu sepi. Hanya teronggok kasur usang yang teramat tipis, sepasang meja kursi tua, serta beberapa buku terserak berantakan di sudut ruangan. Para pengurus masjid mengamati buku-buku yang tampak kumal itu. Ada berbagai buku teori yang hanya akan dibaca untuk keperluan skripsi; buku filosofi mulai dari Al Ghazali sampai Albert Camus; buku-buku fisika kuantum; buku sukses soal-soal CPNS dan masuk BUMN; hingga majalah lawas yang memuat kiat-kiat dagang ala Bondan Winarno.

“Dia banyak membaca buku rumit hingga pikirannya terganggu,” duga salah satu pengurus masjid.

Karena belum menemui Majnun, para pengurus masjid pulang dengan perasaan gagal. Tapi setidaknya, mereka membawa buku-buku dari kamar Majnun yang dicurigai menjadi sumber terganggunya kejiwaan Majnun. Lebih baik Majnun dipisahkan dari buku-buku di kamarnya. Siapa tahu otaknya lebih tenang dan lakunya tidak keblinger lagi, pikir para pengurus masjid itu.  

Mereka bertekad kembali menemui Majnun keesokan hari. Namun ternyata keinginan itu tak pernah terlaksana. Malam itu langit dipenuhi asap. Api bekerja melahap kamar sewaan Majnun hingga hanya bersisa abu. Warga yang panik sontak bergotong royong memadamkan api. Ketika api padam, tak ada lagi yang dapat diselamatkan.

Selain abu dan kepanikan, kebakaran itu juga meninggalkan tanya. Warga mulai menyusun teka-teki bagaimana insiden itu terjadi.

Babi

“Siang tadi, saya melihat sekelompok orang berpeci masuk ke dalam kamar dengan gelagat mencurigakan!”
“Ah, mana mungkin? Mereka tampak alim!”
“Siapa lagi kalau bukan mereka?”
“Mereka orang beragama!”
“Tidak semua orang beragama baik!”
“Pokoknya tidak!”
“Jangan-jangan korslet?”
“Hubungan arus pendek?”
“Jangan-jangan dibakar?”
“Mustahil!”
“Atau membakar diri?”
“Astaga!”
“Bisa jadi!”
“Majnun!”
“Siapa Majnun?”
“Pemuda setengah miring yang tinggal di kamar ini!”
“Setengah miring?”
“Gila, tidak waras!”
“Di mana Majnun?”
“Mati terbakar?”
“Sudah lari duluan?”
“Kamarnya tak bersisa!”

Seluruh dugaan dan pertanyaan melayang ke awang-awang.
“Di mana Majnun?”

Sunyi.

***

Aku menghela nafas.

Begitulah kisah tentang Majnun yang melegenda di kampusku. Baru saja kudengar dari kawan dekatku, seorang mahasiswa tingkat akhir sekaligus penulis cerita fiksi yang dikenal mahir dan berbakat, tepat pada saat kami menunggu salat Jumat di masjid kampus.

Dengan terkantuk-kantuk, aku menyimak khotbah Jumat yang disampaikan secara normatif dan bertele-tele oleh bapak rektor, sebelum tiba-tiba muncul suara memecah keheningan jemaah salat.

“Mengapa bapak menghamburkan uang untuk memperindah masjid, sementara perpustakaan kampus ditelantarkan begitu saja?”

Ramadhanmu Telah Berpamit

Aku tersentak. Pertanyaan itu meluncur dari mulutku, yang bergerak sendiri tanpa dapat kukendalikan, tatkala bapak rektor berkhotbah tentang hadist nabi yang mengimbau umatnya untuk belajar hingga negeri Tiongkok.

Mata para jemaah melotot padaku. Aku berkeringat dingin.

***

*Puri Bakthawar, Lahir di Salatiga, 7 November 1990. Sekarang sedang menempuh studi dan menjadi Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Mencintai buku-buku dan dunia cerita. Beliau dapat dihubungi melalui HP: 0813-2983-0905, Email: puribakthawar@gmail.com, Twitter: @puribakthawar