Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santri Google, Ayo Mondok


SAAT
sowan ke pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, tempat saya dulu mengabdi dan mengaji, terlihat puluhan santri yang juga sedang antre sowan. Mereka dipanggil satu per satu; berdialog singkat, lalu undur diri, kemudian membaca Alquran. Sepertinya para santri itu sedang di-ta’zir (dihukum).

Meskipun jarak saya dengan para santri tersebut tidak lebih dari dua saf, saya tidak begitu mendengar dialog lirih pengasuh dengan para santri. Karena penasaran, saya bertanya kepada salah seorang santri, “Ada apa?”

“Saya melanggar. Punya handphone,” jawab si santri sambil tersipu malu.

Dugaan saya benar. Mereka dipanggil pengasuh, divonis bersalah, dan dihukum. Hukumannya ringan sekali: mengaji. Sebuah hukuman yang bukan hukuman. Sebab, mengaji sejatinya adalah rutinitas harian para santri.

Saya diam. Tidak melanjutkan pertanyaan. Yang pasti, larangan tersebut tentu berpengaruh kepada banyak santri. Mereka cenderung menjauh dari segala hal yang berbau ponsel. Tidak hanya memiliki, menyentuhnya pun mungkin gemetar. Takut ketahuan pihak keamanan pondok.

***

Larangan memiliki handphone itu adalah bagian kecil dari ikhtiar pesantren untuk menjaga disiplin para santri. Dengan menjauhkan diri dari segala hal yang berbau gawai pintar, konsentrasi belajar mereka akan terbentuk. Mereka menjadi tidak mudah terganggu dengan segala kemudahan ponsel.

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa ajaran kedisiplinan ala pesantren itu tampak kuno. Di tengah tumbuh pesatnya teknologi informasi, era big data, sosial media, dan merebaknya bisnis start-up, pesantren justru menjauhkan santrinya dari gawai pintar.

Ya, terkesan kuno. Tapi, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa segala kemudahan yang ditawarkan gawai pintar tersebut juga membawa dampak negatif jika kita tidak memanfaatkan dengan baik. Bukankah kita resah jika melihat anak-anak kita terlalu lama memegang ponsel pintar?

Pesatnya perkembangan teknologi informasi juga melahirkan generasi Z (Gen-Z). Generasi itu mulai menggeser generasi sebelumnya yang disebut generasi milenial (Gen-Y). Karena dikelilingi segala perangkat yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan informasi, Gen-Z dinilai memiliki sejumlah kelebihan bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yakni dipandang lebih serbabisa, berpikiran jauh lebih terbuka, mudah terjun ke dunia kerja, dan berjiwa entrepreneur.

Tapi, benarkah demikian? Benarkah Gen-Z lebih hebat bila dibandingkan dengan generasi zonder gawai? Sejumlah penelitian justru menyebutkan, karena kuatnya relasi dengan dunia maya, Gen-Z cenderung kurang bersosialisasi di dunia nyata. Karena amat sangat bergantung pada gawai pintar, generasi itu terlalu sering menunduk untuk melihat layar ponsel, kurang menoleh kiri-kanannya, individualistis, bahkan terkadang antisosial.

Gen-Z memang memiliki kelebihan karena kemudahannya mendapatkan akses informasi. Dengan sekali klik, semua informasi bisa didapat. Tanpa batas. Dari informasi remeh tentang gosip selebriti, perkembangan politik nasional, kejadian di belahan dunia lain, hingga hasil-hasil riset terbaru. Dengan sekali unduh, mereka bahkan bisa mendapatkan buku-buku bagus, termasuk kitab klasik karya ulama-ulama besar syalafusshalih. Semua serbacepat, serbainstan. Sayang, keserbacepatan itu justru melahirkan keserbatergesaan. Juga, keserbatergesaan itu terkadang melahirkan keengganan melakukan cek dan ricek informasi serta cenderung memercayai informasi yang diterima, alih-alih melakukan kontemplasi mendalam.

Di tengah-tengah Gen-Z itu lahir pula generasi kaum muda muslim yang memiliki kesadaran untuk mencari pengetahuan agama secara instan. Mereka kerap disebut sebagai “santri Google” karena membaca pengetahuan-pengetahuan keagamaan yang banyak tersedia di mesin pencari milik duo Larry Page dan Sergey Brin itu. Mereka banyak berguru dengan mem-follow akun Facebook dan Twitter ustad kontemporer, juga “menghadiri” tablig akbar di YouTube. Singkat kata, dengan sekali follow dan subscribe, sanad keilmuan santri Google sudah tersambung. Sebuah “keistimewaan” akses pengetahuan yang tidak mudah didapat santri di pondok pesantren.

***

Belakangan ini, santri Google dan santri pondok pesantren kerap dipertentangkan secara berhadap-harapan. Santri Google dicibir karena kedangkalan pengetahuan dan ketidakjelasan sanad keilmuannya. Santri pondok diremehkan karena ke-ndeso­-an dan kelambanannya mengikuti perkembangan zaman. Padahal, pertentangan yang demikian semestinya tidak perlu terjadi.

Pesantren telah diakui sebagai institusi pendidikan yang memiliki kontribusi besar bagi perkembangan sejarah Nusantara. Dengan ciri khasnya, pesantren dinilai sukses membentuk pembelajar yang memiliki kedalaman pengetahuan dan pendidikan karakter yang baik. Ke-ndeso-an pesantren justru melahirkan pembelajar yang memiliki pemikiran moderat, toleran, dan menghargai perbedaan; berkebalikan dengan merebaknya intoleransi pada generasi muslim milenial dan Gen-Z. Pengakuan tersebut menjadi tantangan besar bagi pesantren untuk menebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ’alamin dengan memanfaatkan segala kemudahan yang ditawarkan revolusi teknologi informasi.

Karena itu, tidak berlebihan jika pesantren diharapkan bisa menjadi garda terdepan penebar gagasan Islam ramah. Pesantren mulai perlu membanjiri internet dan media sosial dengan konten-konten kreatif sehingga santri Google dari Gen-Z bisa lebih mengenal serta tertarik dengan tradisi pendidikan ala pesantren. (*)

*M. Khusen Yusuf, Alumnus Pesantren Salafiah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, dan wakil ketua umum Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI.


Sumber: Jawa Pos, Rabu 25 Oktober 2017.