Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Megaproyek


KAPAN
Indonesia tak dihebohkan dengan skandal Megaproyek? Ya, Indonesia sejak beberapa dekade terakhir selalu dihebohkan dengan skandal megaproyek yang itu menyita perhatian publik. Beberapa kasus yang mungkin masih melekat dibenak publik diantaranya adalah skandal megaproyek Hambalang, Simulator SIM, Reklamasi Teluk Jakarta, Pelindo II dan teranyar KTP Elektronik (KTP-el).

Kasus megaproyek Hambalang pada tahun 2013 lalu, sempat menjadi perbincangan hangat publik yang diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp700 miliar lebih. Itu diketahui atas laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas maret, 2016 lalu. Jumlah yang memang tidak sedikit, mengingat alokasi dana APBN untuk megaproyek tersebut sebesar Rp1,2 triliun. Yang itu artinya, lebih dari separuh alokasi dana APBN dikorupsi.

Megaproyek simulator SIM sempat juga menghebohkan publik ini pada tahun yang sama, 2013 lalu. Meski sekarang hampir tidak ada media yang “ngungkit-ngungkit” sakandal itu, KPK melalui juru bicaranya Johan Budi waktu itu menyebut kerugian negara atas kasus korupsi skandal simulator SIM mencapai Rp121 miliar. Jika dibandingkan dengan kasus Hambalang, skandal simulator SIM terbilang cukup kecil. Hanya saja, kejadian itu menerpa institusi penegak hukum yang semakin mencoreng nama baik kepolisian.

Awal tahun 2016, Reklamasi teluk Jakarta juga sempat menyita perhatian jagat publik. Meski bukan megaproyek berskala nasional, reklamasi teluk Jakarta menjadi ramai diperbincangkan setelah KPK berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) salah seorang anggota DPRD DKI Jakarta waktu itu. Uang yang diduga suap pun boleh dibilang sedikit, hanya Rp2 miliar. Kendatipun belum ada temuan baru dalam kasus tersebut, banyak pihak meyakini jika megaproyek tersebut juga merugikan keuangan negara. Kegaduhannya masih berlanjut hingga penghujung tahun 2017 akan berakhir, meski intensitasnya boleh dibilang kecil.

Menjelang akhir tahun 2016, publik Indonesia dihebohkan dengan penetapan tersangka Direktur Utama Pelindo II RJ Lino atas dugaan korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II. Berdasarkan audit BPK, negara rugi setidaknya Rp4 triliun atas kasus proyek QCC tersebut. Hampir sama dengan kasus simulator SIM, Pelindo II yang disebut-sebut sebagai kasus penindakan korupsi terbesar ini jarang disentuh media.

Teranyar, kehebohan publik semakin besar tatkala KPK menetapkan petinggi negara ini sebagai tersangka kasus megaproyek KTP-el. Tak lain adalah Setya Novanto, Ketua DPR RI 2014-2019, diduga kuat terlibat dalam kasus yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun dari nilai proyek Rp5,9 triliun itu.

Dari beberapa deretan megaproyek yang dikorupsi selama satu dekade terakhir, kasus Pelindo II masih memegang rekor korupsi yang diduga merugikan keuangan negara dengan nilai tertinggi, yakni Rp4 triliun. Jika dijumlahkan, kerugian negara dari setidaknya lima kasus megaproyek di atas, lebih dari Rp7 triliun uang negara hilang. Sungguh luar biasa.

Kini, hanya bisa berharap seluruh kasus besar itu dapat dituntaskan prosesnya oleh lembaga penegak hukum. Sebab, belajar pada kasus korupsi besar sebelum-sebelumnya, penegak hukum seakan-akan lambat dalam menyelesaikannya. Sebut saja kasus BLBI yang rugikan negara Rp4,5 triliun, Bank Century yang rugikan negara setidaknya Rp7 triliun lebih, dan kasus-kasus korupsi lainnya yang hingga kini tak ada kabar seperti apa penyelesaian proses hukumnya.

Cukup kita ambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Penegak hukum harus mampu memberikan jaminan terhadap publik untuk mengusut tuntas skandal megaproyek dan kasus korupsi besar lainnya. Hal demikian itu bukan perkara kecil, rakyat akan menjadi sengsara dengan sederet kasus besar tersebut. Oleh karenanya, penegak hukum harus bekerja serba ekstra untuk menyelesaikannya.

Jaminan itu sebagai pertaruhan penegak hukum jika hukum itu sebagai pemberi keadilan. Tidak seperti yang disangkakan selama ini, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sebab hingga hari ini publik masih ragu terhadap berbagai persoalan hukum yang cenderung tumpul ketika kasus itu melibatkan para petinggi negara ini. Berbeda ketika proses penyelesaian hukum itu melibatkan rakyat biasa, sebut saja misalkan pencurian, hukum cepat memberikan keadilan atas kejadian itu.

Hebohnya megaproyek tentu harus memiliki porsi yang sama dengan proses penyelesaian hukumnya, supaya kehebohan itu tidak hanya sebatas menjadi heboh tanpa arti. Sudah terlalu banyak uang negara dicuri oleh oknum tak bertanggungjawab. Itu semua akan berdampak pada rakyat yang akan semakin sengsara ketika uang negara yang dicuri.

Semoga penegak hukum kita tidak masuk angin. Supaya kasus yang merugikan negara triliunan rupiah mampu diselesaikan proses hukumnya agar memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi. Atau paling tidak, itu merupakan peringatan terhadap petinggi negara untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan korupsi di masa mendatang.

Kita sebagai rakyat hanya bisa berharap begitu. Ya, begitu harapan kita sebegai rakyat. Merdeka! (*)