Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bendoro Saud, Raja Ke-29 yang Memimpin Sumenep


Sumenep, Rumah Baca Orid

Sejarah Sumenep mencatat bahwa Bendoro Saud adalah Raja ke 29 yang memimpin kerajaan Sumenep sejak tahun 1750 hingga 1762 M.

Bendoro Saud keturunan dari Pangeran Katandur. Pangeran Katandur merupakan cucu dari Sunan Kudus. Pangeran Katandur adalah pemimpin pertanian yang mula-mula memberi contoh bercocok tanam di desa Parsanga dan desa-desa disekitarnya dalam pertengahan abad ke 17.

Waktu di daerah Sumenep ditimpa bencana kelaparan yang disebabkan hujan lama tidak turun dan rakyat disibukkan oleh macam-macam peperangan, berkat petunjuk-petunjuk dari Pangeran Katandur dibidang pertanian, maka hasil produksi dapat dilipatgandakan dan kelaparan dapat segera diatasi.

Pangeran Katandur memang mempunyai darah keturunan Arab, maka disamping memimpin pertanian, ia juga menyebarkan Agama Islam. Setelah beberapa keturunan, sampailah pada Bendoro Saud, dengan demikian ia adalah keturunan Arab dan nasabnya bersambung ke Sunan Kudus. Bendoro Saud kemudian diambil oleh pamannya Kiai Pekke, Kiai ini mempunyai banyak santri, termasuk pula Bendoro Saud untuk dididik.

Pada malam hari, santri-santrinya tidur bersama-sama dilanggar (surau), pada suatu malam Kiai Pekke melihat-lihat santrinya yang sedang tidur dalam malam yang gelap itu, tampaklah sinar yang datang dari salah seorang santrinya.

Kiai Pekke menghampiri santri tersebut dan memberi tanda sarungnya dilobangi dengan api rokok. Pada keesokan harinya, Kiai Pekke memeriksa santri-santrinya dan ternyata sarung yang diberi tanda disarungnya berlobang ialah Bendoro Saud.

Selanjutnya, Bendoro Saud menikahi Nyai Isza dan mempunyai dua orang anak yang bernama Ario Pacinan dan Sumolo (Somala) bergelar Panembahan Notokusumo I.

Diceritakan selanjutnya bahwa Ratu Tirtonegoro bermimpi supaya ia kawin dengan Bendoro Saud anak dari Bendoro Bungso yang tinggal di Desa Batu Ampar (salah satu desa di Kecamatan Guluk-guluk-red) oleh karena itu ia menyuruh menterinya untuk memberi tahu Bendoro Saud supaya menghadap ke keraton dan Bendoro Saud diberitahunya atas mimpinya. Setelah ada kata sepakat dari keduanya perkawinan dilaksanakan dengan mengambil gelar isterinya ialah Raden Tumenggung Tirtonegoro (R.T. Tirtonegoro), dan terus menetap di keraton.

Selanjutnya, diceritakan bahwa Patih Sumenep Purwonegoro mendengar adanya pelaksanaan perkawinan di keraton, ia amat marah karena ia sendiri bermaksud mengawini Ratu Tirtonegoro, ia tidak sudi menghadap ke keraton meskipun berkali-kali dipanggil oleh Ratu, bahkan ia membalas panggilan itu dengan nada menantang Bendoro Saud untuk berperang.

Pada suatu waktu di Pendopo keraton diadakan pertemuan dan sekaligus untuk memperkenalkan R.T. Tirtonegoro. Patih Purwonegoro juga diharuskan hadir oleh Ratu Tirtonegoro, pada saat itu seorang menteri yang bernama K. Sawunggaling disuruh berpakaian kerajaan dan didudukkan di atas kursi kerajaan sehingga jika orang kurang teliti akan mengira bahwa ia adalah Rajanya.

Sebelah belakang kanan berdiri pemegang tombak upacara keraton, tidak lama patih Purwonegoro datang dengan kelihatan sangat marah dan terus menuju orang yang duduk disinggasana (dikiranya Bendoro Saud-red) dengan pedang terhunus terus memukulkan pedangnya dengan sangat keras, untunglah pedangnya tidak mengenai sasaran dan tertancap di tiang pendopo, sehingga tidak mudah ditarik kembali. Setelah Sawunggaling mengelakkan diri dari bacokan pedang, ia menghunuskan pedangnya, lalu ditusukkan ke perut patih Purwonegoro hingga meninggal seketika waktu itu juga, peristiwa yang tragis itu menimbulkan banyak akibat.

Sebagaimana telah diceritakan bahwa antara Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro ada hubungan famili, keduanya sama-sama keturunan Judonegoro. Karena peristiwa tersebut, maka kerajaan Sumenep pecah menjadi dua. Golongan yang ada dipihak Tirtonegoro diperbolehkan tinggal di Sumenep dan diwajibkan berubah gelarnya dengan sebutan Kiai serta berjanji tidak akan menentang Bendoro Saud sampai tujuh keturunannya.

Bagi mereka yang tidak setuju terhadap ketentuan di atas dianjurkan lebih baik meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan. Diceritakan bahwa yang tinggal di Sumenep masih cukup banyak karena masih banyak yang cinta kepada Ratu Tirtonegoro. Sebagaimana telah diceritakan bahwa Bendoro Saud dengan Isterinya yang pertama Nyai Isza mempunyai dua orang anak sedangkan dengan Ratu Tirtonegoro tidak mempunyai keturunan.

Pada suatu waktu Ratu Tirtonegoro memanggil dua orang anak dari Bendoro Saud (hasil perkawinannya dengan Nyai Isza-red) dan disuruh untuk menghadap ke keraton, setelah mereka sampai ke keraton mereka menyembah dan duduk berjauhan dengan Bapak dan ibu tirinya karena itu satu persatu dipanggilnya dan yang datang pertama ialah yang tertua dengan menyungkem kepada ayahnya terlebih dulu, setelah itu datanglah putra yang kedua dan ialah Somala yang menyungkem terlebih dahulu pada ibu tirinya dan dilanjutkan pada Bapaknya.

Ratu Tirtonegoro lalu berkata sebagai wasiat yang diingat oleh sekretaris Kerajaan ialah sebagai berikut: “Kelak kemudian hari apabila ayah dari kedua orang anak ini meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah anaknya yang nomor dua yang bernama Somala.”

Kedua anak itu atau diijinkan tinggal di kerajaan beberapa waktu lamanya, setelah itu ia minta diri untuk kembali kerumah ibunya di Batu Ampar, setelah Tirtonegoro (Bendoro Saud) meninggal dunia di tahun 1762, maka sesuai wasiat Ratu Tirtonegoro yang menggantikannya ialah Somala dengan bergelar Panembahan Notokusumo I.

Beberapa kejadian selama pemerintahan Somala ialah sebagai berikut: “Pemisahan Kabupaten Panarukan dari daerah Sumenep, yang sebelumnya memang termasuk wilayah kerajaan Madura, pembikinan keraton Sumenep yang sekarang menjadi Rumah Kabupaten dan pembangunan Masjid Jamik di kota Sumenep tahun 1763.”

Pada tahun 1810 Panembahan Somala diminta datang oleh Kompeni (Belanda-red) ke daerah Semarang untuk ikut serta menjaga daerah pesisiran berhubung dengan timbulnya peperangan antara Belanda dan Inggris, sewaktu Somala tidak ada di Sumenep, tentara Inggris datang menyerang dari lautan dengan kapal perangnya yang mempergunakan meriam sampai di Pantai Saroka.

Berhubung pemerintahan tidak ada di Sumenep, maka Patih Sumenep Kiai Mangundi Rejo mengambil keputusan untuk menyerang Inggris dan bersama-sama anaknya berangkat ke pantai Saroka yang diikuti pula oleh tentara Sumenep. Dalam pertempuran itu Patih Mangundirejo beserta anak-anaknya gugur, demikian pula banyak anggota-anggota pasukan yang tewas dalam peperangan itu.

Sewaktu Somala datang dari Semarang dan mendengar kabar itu, ia sangat terharu dan terus menyusul ke Saroka, sesampinya di Saroka ternyata tentara Inggris sudah meninggalkan medan pertempuran dan mereka sudah naik keatas kapal dan terus berlayar meninggalkan perairan daerah Sumenep. (lontarmadura/fairozi)


Sumber: Buku Selayang Pandang Sejarah Madura.