Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahasiswa Zaman Now


SAYA
masih berkonsentrasi memacu laju sepeda motor saat Alif Nur Naqti mengutarakan pendapatnya di dekat telinga, “Berarti mahasiswa Malang itu doyan makan.”

Saya tidak begitu kaget ketika Alif berkata demikian karena saya sangat tahu ke mana kata-kata itu bermuara. Seperti sebuah sungai, kata-kata juga punya arah gerak.

Alif Nur Naqti adalah seorang penyair yang buku puisinya sedang dipersiapkan untuk terbit -katanya, sebagai souvenir pernikahannya kelak-. Kami baru saja pindah dari warung kopi Lanang (di sana kami omong-omong resolusi 2018 bersama dua sahabat lainnya) ke warung makan Ayam Goreng Nelongso.

“Saya membayangkan bagaimana bila diadakan observasi mengenai tingkat makan mahasiswa Malang. Kuliner menjadi bisnis yang menjanjikan di sini. Hampir semua jenis warung makan ada. Mulai dari warung makan Ayam Goreng Nelongso, Ayam Gober, Ayam Otewe, Ayam Geger, Warung Sambal Cak Sur, Warung Makan Cak Per, dan cak-cak lainnya.”

“Itu bisa menjadi petanda bagaimana karakter mahasiswa Malang. Di Surabaya saja warung makan, ya, biasa saja. Ya, warung makan kelas pekerjalah.”

“Sepertinya memang hanya di Malang yang terdapat riuh-ramai jenis warung makan. Yogya, yang dianggap sebagai kota pendidikan, kalau masalah makanan, sepertinya tidak seramai di Malang. Padahal sama-sama kedatangan banyak mahasiswa dari luar daerah.”

“Coba perhatikan! Apa pun nama warungnya, hampir pasti selalu ada mahasiswa yang makan di dalamnya. Sekecil apa pun warungnya.”

Ini kali kedua saya makan di warung makan Ayam Goreng Nelongso Siguragura. Dua minggu sebelumnya saya diajak seorang teman ke warung makan Ayam Geger di belakang UIN Sunan Maulana Malik Ibrahim. Ia bilang begini pada saya: besok-besok saya ajak kamu datang ke warung makan yang lain.

Woh, saya pikir, hidup di Malang tidak lebih dari sekadar safari kuliner. Ya, tidak, sih?

Boleh jadi benar yang dikatakan Alif. Terisinya berbagai sudut warung makan menjadi salah satu pola kehidupan mahasiswa Malang. Atau mungkin itu adalah satu-satunya karakter mereka? Saya juga mahasiswa salah satu kampus di Malang. Tetapi baru sekarang saya berpikir ulang, apakah mungkin demikian karakter mahasiswa sekarang?

Saya tidak sedang menghakimi sesuatu atas dasar apa yang hanya bisa ditangkap oleh mata. Don’t judge something by the cover, katanya. Tetapi saya boleh berkata, baju yang dikenakan seseorang boleh jadi menggambarkan kepribadiannya. Semakin maraknya kuliner di hampir seluruh sudut Kota Malang sangat mungkin merepresentasikan masyarakatnya yang doyan makan. Dan terutama, berdirinya berbagai jenis kuliner itu selalu pasti di wilayah yang banyak dihuni mahasiswa. Bukankah ini berarti mahasiswa hari ini lebih banyak makannya daripada belajarnya?

Ini hanya hipotesa. Yang lebih sering pergi ke warung makan atau sengaja bekerja di warung makan tidak usah tersinggung. Sebab boleh jadi, yang saya lihat tidak seperti yang terlihat. Sekali lagi, ini hanya hipotesa.

Sebagai misal, warung makan Ayam Nelongso, yang sudah membuka cabang di mana-mana di Kota Malang, nyaris tidak pernah sepi. Mahasiswa datang silih berganti. Ada yang makan di tempat dan ada pula yang membawanya pulang. Yang perempuan datang dengan dandanannya yang lebih pantas bila dikenakan pergi ke pesta dengan riasan muka yang lebih tepat jadi pasangan pengantin perempuan di atas pelaminan.

Saya melihat tingkat konsumsi mahasiswa semakin meningkat dari hari ke hari. Dan pemerintah tentu memiliki andil besar dalam pembentukan budaya ini. Di jalan Veteran, di dekat Dinas Pendidikan Kota Malang, di dekat Universitas Brawijaya, berdiri sebuah gedung mal besar dan megah, Malang Town Square. Di sekitar mal ini terdapat pula Universitas Negeri Malang dan lembaga pendidikan dari tingkat SMP hingga SMA dan SMK. Di jalan MT. Haryono, bersebelahan dengan Universitas Islam Malang, berdiri juga mal Dinoyo City. Di depan kampus ini terdapat berbagai warung makan, dari yang menetap hingga yang nomad. Di sepanjang jalan Tirto menuju Universitas Muhammadiyah Malang, berjajar pula beragam jenis warung makan. Termasuk juga di daerah Sumbersari, tepatnya di sepanjang jalan Gajayana, boleh dibilang, ini wilayah surga makanan.

Melubernya jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun telah ditangkap sebagai ide lapangan bisnis yang sangat luar biasa. Warung kopi tumbuh sesubur warung makan. Ini memang bukan sesuatu yang keliru. Tetapi jelas ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikiran. Di Yogyakarta, misalnya, riuh warung makan di depan UIN Sunan Kalijaga nyaris tidak ada. Di depan Universitas Gajah Mada juga sepi dari warung makan. Tetapi di Malang, nyaris tak ada kampus yang tidak dikelilingi hal-hal berbau perut.

Sekali lagi, ini hanya keisengan berpikir, jangan-jangan mahasiswa zaman now begitu cepat ingin keluar kelas karena alasan-alasan perut. Bila benar demikian, segeralah bertobat! Sebab bila tidak, kita akan lebih dekat dengan kematian; matinya intelektualitas dan daya dobrak pada kebodohan. (*)

*Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang tinggal di Malang bergiat di Komunitas Sastra Malam Reboan.