Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ancaman Golput dalam Pilkada


SURAT EDARAN
(SE) Sekda Pemkot Pekanbaru yang mewajibkan PNS di jajarannya untuk mencoblos di Pilkada Gubernur Riau menuai pro-kontra. Bawaslu misalnya, mengindikasikan keberadaan SE berpotensi menjadi semacam bahan intimidasi. Sementara bagi Pemkot, SE tersebut dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih dalam pilkada, di mana angka golput menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Fenomena golput dalam pilkada seakan menjadi “cacat bawaan” ajang demokrasi. Ada semacam apatisme politik yang sangat jelas terlihat dalam ajang pesta rakyat daerah, dan ini menjadi preseden buruk dalam sebuah demokrasi, mengingat demokrasi sangat erat hubungannya dengan partisipasi. Pada level tertentu, rendahnya partisipasi politik ini bisa jadi menjelma menjadi delegitimasi politik. Dan, jika ini terjadi maka proses demokrasi yang saat ini berjalan mengalami apa yang disebut ‘cacat’ demokrasi.

Istilah golput (golongan putih) sudah lama menghiasi kancah politik-demokrasi di negeri ini. Secara historis, istilah “putih” dipakai untuk memposisikan diri sebagai sesuatu yang netral dan tidak partisan dalam politik partai yang penuh warna. Bahkan, sampai saat ini warna masih sangat melekat dalam entitas sebuah partai. Sehingga warna putih dipilih sebagai sebuah representasi politik yang tidak berwarna.

Pada zaman Orde Baru (Orba), istilah golput mengandung makna yang cukup negatif bagi penguasa, bahkan dianggap subversif. Hal ini terjadi karena politik represif yang digunakan Orba, di mana terjadi perselingkuhan yang intim antara birokrasi dan politik. Jika ada seseorang yang berani tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, maka orang tersebut harus siap menghadapi hambatan birokrasi yang akan menantinya. Bahkan, pada tataran tertentu harus puas berhadapan dengan represivitas militer yang menjadi alat kekuasaan.

Ketika era Reformasi, golput seakan mendapatkan udara kebebasan. Golput menjadi kekuatan politik tersendiri dalam rangka membangun bargaining politik yang formalis. Meskipun eksistensi golput tidak berpengaruh terhadap hasil pemilihan, namun kekuatan golput ini seakan membangun delegitimasi politik demokrasi. Golput merupakan fenomena alamiah; ia tidak terorganisasi, namun berangkat dari hati nurani masing-masing pemilih.

Membangun Partisipasi Politik

Demokrasi politik yang hari ini berlaku sangat meniscayakan adanya partisipasi pemilih. Partisipasi ini kemudian terkonversi menjadi suara politik yang mampu memberi legitimasi terhadap calon yang dipilihnya. Sehingga kualitas demokrasi dalam hal ini berbanding lurus dengan kuantitas partisipasi. Golput dalam hal ini adalah angka deviasi yang secara tidak langsung menggerogoti kualitas demokrasi partisipatif tersebut. Sehingga, secara tersirat bangsa ini harus mampu berjuang melawan tingginya ancaman golput.

Sebenarnya ada beberapa kemungkinan tentang kecenderungan tingginya angka golput ini. Pertama, ada semacam apatisme politik yang menjangkiti para pemilih. Apatisme ini boleh jadi disebabkan oleh ketidakmampuan parpol dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Banyaknya kader parpol yang terlibat korupsi adalah kristalisasi dari bobroknya kualitas demokrasi-politik. Sehingga, secara logis akan melahirkan sebuah kecenderungan apatis terhadap proses politik, termasuk pilkada.

Kedua, kurangnya pendidikan politik bagi pemilih. Kesadaran politik warga negara harus menjadi prioritas utama dalam proses politik. Di sini, beberapa pihak seperti penyelenggara pemilu, partai politik, dan lembaga swadaya masyarakat harus melakukan pendidikan politik secara masif. Kesadaran politik pemilih menjadi jaminan terhadap kualitas demokrasi, mengingat suara pemilih sangat menentukan kepemimpinan nasional maupun daerah.

Ketiga, besarnya angka golput boleh jadi disebabkan oleh kurang maksimalnya sosialisasi yang diakukan oleh penyelenggara pemilu. Sosialisasi dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan hari dan teknis pemilihan. Namun, juga terhadap program dan profil calon yang melakukan kontestasi politik. Sehingga, ketika pemilih sudah memahami pilkada secara substansif dan teknis, maka akan ada tindakan politik yang ia lakukan. Masyarakat yang merupakan pemilik suara politik harus dipahamkan tentang arti penting partisipasi politik mereka dalam pemilihan.

Keempat, carut marutnya daftar pemilih tetap (DTP). Fenomena semrawutnya kasus DPT di berbagai daerah kiranya ikut serta memberi andil terhadap partisipasi politik para pemilih. Di beberapa kasus, masyarakat yang ingin memilih namun dalam DPT tidak tercantum, akhirnya tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Hal ini secara masif akan melahirkan pesimisme politik masyarakat, yang pada akhirnya termanifestasikan melalui tindakan golput.

Dari sini, pembangunan partisipasi politik pemilih niscaya untuk dilakukan. Demokrasi adalah manifestasi dari akumulasi penggunaan hak masing-masing individu. Demokrasi dalam hal ini tidak begitu akomodatif terhadap kualitas calon pemimpin, namun ia sangat berdasar pada kuantitas yang memilihnya. Sehingga, pembangunan kepemimpinan nasional harus dimulai dengan pembangunan partisipasi politik yang cerdas. Jika rakyat cerdas memilih calon pemimpin, maka secara tidak langsung akan mampu melahirkan sosok pemimpin yang cerdas lahir batin.

Menjadi sebuah ancaman demokrasi, jika golput telah menjadi ‘ideologi’ bagi masyarakat. Bila masyarakat mulai menganggap politik sebagai sesuatu yang “buruk”, sehingga mereka lebih memilih golput, maka keruntuhan demokrasi secara substantif sudah tidak bisa terelakkan lagi. Ketika bangsa ini sudah memantapkan langkahnya memilih demokrasi partisipasif atau demokrasi langsung, maka ideologi golput harus menjadi perhatian kita bersama, sebagai prasyarat prinsip representatif. Semoga suara golput tidak mewakili suara Tuhan. (*)

*Muhamad Mustaqim, Dosen IAIN Kudus dan mahasiswa Program Doktor di UIN Walisongo Semarang.


Sumber: detik.com