Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Budaya Lisan Mendominasi, Orang Indonesia mudah Terpengaruh Hoaks


Yogyakarta, Rumah Baca Orid

Prof. Dr. Suroso, M.Pd. yang baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Pembelajaran Sastra Indonesia beberapa waktu lalu menyatakan, bangsa Indonesia saat ini didominasi budaya lisan.

“Orang dapat berlama-lama menonton televisi atau memutar CD dan DVD namun sedikit sekali waktu untuk membaca,” katanya, di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), seperti dilansir mediaindonesia.com dan dikutip Rumah Baca Orid, Sabtu, 9 Juni 2018.

Menyitir pendapat budayawan Prof. Teeuw, Soroso mengatakan, Bangsa Indonesia masih dalam tradisi kelisanan (orality) dan belum masuk pada tradisi keaksaraan (literacy). Meski, pengguna/pembaca internet di Indonesia mencapai 132.711.367 orang yang 50% di antaranya mengakses melalui telepon seluler (ponsel), namun konten yang dikunjungi 50% di antaranya Facebook dan hanya 6% yang mengunjungi mesin pencari google. Pengunjung google ini, lebih rendah dibanding yang membuka akses situs porno (7,9%).

Dengan banyaknya yang media sosial, imbuhnya, orang bisa terpengaruh dengan berita-berita bohong/palsu atau hoaks yang tidak jarang berbenturan dengan nilai kemanusiaan disaat budaya membaca masih rendah.

Rendahnya kemampuan minat baca sastra ini cukup memprihatinkan. Dia menunjukkan seorang siswa di SMA Standfird College Singapura rata-rata membaca enam judul buku per tahun, sedangkan siswa Forest Hill Amerika Serikat rata-rata membaca 32 judul per tahun. “Indonesia? Tidak ada data,” ujarnya.

Karena itu, dia berharap akan ada upaya yang serius agar anak Indonesia mengenal sastra dengan baik. “Melalui pendidikan kesastraan diharapkan bangsa Indonesia mampu memahami kebudayaan dan pikiran bangsanya serta mampu berkepribadian Indonesia,” ujarnya.

Adapun dalam pidato pengukuhannya, Prof. Suroso mengatakan, sastra selain dianggap mampu memberi manfaat dan hiburan juga dinilai mampu memberikan pembelajaran berbagai persoalan manusia. Terutama wacana sastra tentang hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan antarmanusia yang terwujud dalam persoalan religiusitas, humanisme dan multikulturalisme.

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Religiusitas dan Humanitas dalam Sastra Indonesia Modern, Prof. Suroso mengemukakan lebih lanjut mengatakan, meski tidak secara langsung, sastra dapat membentengi seseorang dari kegiatan amoral.

“Sastra dapat menyampaikan nilai-nilai religiusitas dan humanitas. Sastra juga dapat memberi pencerahan melalui tokoh, peristiwa, persoalan dan latar religi dan budaya,” katanya.

Meski demikian, Prof. Suroso mengemukakan, kesemua tergantung pada khalayak pembacanya. Hal itu, jelasnya, karena sastra bukan filter untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah, baik dan buruk, pantas-tidak pantas. Sastra, ujarnya hanya menyampaikan fakta imajinatif.

“Walau penulis sastra itu menyampaikan fakta-fakta sejarah, sosial budaya, psikologi dan sebagainya, tetap saja dalam bingkai imajinasi dan pemaknaan ada di benak pembaca,” ujarnya.

Menurut dia, nilai-nilai religiusitas dan humanitas yang terdapat dalam teks sastra menjadi penting dan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan karakter bangsa.

Dia menambahkan, setidaknya ada empat langkah pembentukan karakter bangsa melalui karya sastra, yakni membaca cerita rakyat, megenalkan tokoh-tokoh yang sudah ditulis, membaca karya sastra yang merekam kehidupan sehri-hari dan membaca teks sastra yang sesuai dengan konteks budaya. (mediaindonesia/va)