Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melihat Masa Depan Bumi dari Beranda Rumah


SAYA
sedang duduk di beranda rumah sembari menyesap kopi dan menikmati cemilan. Televisi menyala dan hanya terdengar suaranya, tak ada yang menonton. Di atas kursi malas, mulailah saya membaca.

Sebuah artikel tulisan Bapak Hendro Sangkoyo yang pernah dimuat di KOMPAS, 24 September 2014. Dalam artikel yang berjudul “Ulang Tahun Penanda Bencana” tersebut, dijelaskan bahwa pada bulan dan tahun tersebut, sekjen PBB menggelar ”pertemuan puncak darurat” perubahan iklim di markas PBB, yang kesannya jauh dari perayaan ulang tahun. Dua tahun terakhir memang muncul serangkaian berita baru perubahan iklim yang tak satu pun menggembirakan. Tahun lalu, jumlah emisi karbon dan suhu atmosfera tertinggi sejak 1984. Dekade 2001-2010 adalah yang terpanas dalam tiga dekade terakhir, dengan suhu rata-rata permukaan laut dan pertemuan daratan-udara 0,47 derajat celsius di atas suhu rata-rata 1961-1990. Pada 2012, luas dataran es Arktik di musim panas, penunjuk penting krisis perubahan iklim, mengerut 3,3 juta kilometer persegi (seluas India) dari luas minimum rata-rata 1979-2000. Di dekade yang sama, muka air laut naik 3,2 milimeter per tahun, dua kali kecepatan kenaikan sepanjang abad XX. Dengan tingkat penurunan laju emisi sekecil sekarang, tulis Hendro,  diperkirakan kenaikan suhu muka bumi 3,6 derajat celsius pada 2050 atau lebih awal lagi.

Tentu saja, saya tidak akan berbicara terlampau jauh soal emisi karbon atau mitigasi (langkah produktif mengurangi dampak bencana). Membicarakan langkah Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)  dalam menciptakan mekanisme finansial kompensasi emisi gas rumah kaca setara karbon masih terasa mewah, apalagi dibicarakan di forum diskusi yang pesertanya bukanlah pakar. Namun demikian, berdasarkan data-data tersebut, mestinya kita tahu, bahwa proses kehancuran Bumi sedang berlangsung dengan sangat cepat. Kita tidak perlu membicarakan tabrakan antarbenda-benda meteorit atau  mendiskusikan datar-tidaknya Bumi, baik dalam perspektif Heliosentris atau Geosentris. Kita cukup melihat perubahan iklim dan menyadarinya.

Perubahan iklim tidak dapat dibantah; menciptakan ancaman serius tetapi kurang diperhatikan. Terjadinya kemarau panjang pada 2014 dan ketidakstabilan musim pada tahun-tahun berikutnya, durasi yang timpang antara kemarau dan tengkujuh (musim  hujan), adalah salah satu bukti paling kasat mata akan nasib Bumi di masa mendatang. Semua itu dapat dengan mudah diteropong dari ruang pribadi, dari depan rumah kita sendiri.

Sebetulnya, alam itu bekerja teratur dan simultan. Dalam perspektif keimanan, semua itu berlangsung atas prakarsa Tuhan. Akan tetapi, kita dapat menalar kerja organik ini dan bersiklus ini sebagai salah satu wujud alamiah semesta raya karena adanya keseimbangan; yin-yang, berpasang-pasangan.

Dari keseimbangan ini, manusia mendapatkan anugerah mahabesar dari alam berupa suhu, cuaca, ketenangan, kesuburan, dan seterusnya. Akan tetapi, di masa berikutnya, sifat rakus menusia muncul dan mulailah segalanya berubah secara global, seperti mencairnya banyak gletser di Alaska dan rusaknya (pengrusakan) hutan (tropis) di Brazil dan Kalimantan dan Papua. Itulah salah satu dampak perubahan iklim terdahsyat.

Manusia membangun banyak lahan pertanian dan perkebunan tetapi sekaligus merusak ekosistem alam dengan menebang hutan; manusia membangun rumah dan kantor tapi sekaligus menggunakan semen yang notabene berasal dari gugusan batu karst. Bahkan, nyaris tidak ada prestasi manusia di dunia ini kecuali dengan juga merusak alamnya. Ironis.

Setelah mengalami kerusakan parah, mulailah muncul gerakan-gerakan penyelamatan. Salah satunya adalah menahan laju kerusakan dengan mitigasi. Sebab, bencana kerusakan alam adalah bencana Bumi dan segenap penghuninya.

Apakah hal-hal yang dibicarakan di atas itu terlalu muluk dan melebar? Jika tidak, sekurang-kurang, kita wajib mengetahui semua itu semata untuk dipahami. Kalau begitu, baik, kita bicara yang remeh-remeh saja.

Orang dahulu merawat alam dengan banyak cara. Salah satunya adalah mitos, misalnya mereka menyebut “penunggu pohon” yang biasanya disematkan untuk pohon-pohon besar dan dikeramatkan. Kita tahu, pohon-pohon besar seperti itu tidak semata-mata digandrungi makhluk halus, melainkan juga sebagai pasak dan penyeimbang ekosistem. Manusia dan serangga sama-sama membutuhkannya.

Belakangan, datanglah manusia serakah bersama korporasinya. Mereka melakukan  demitefikasi, membunuh mitos, lalu menjagal pohon-pohonnya. Yang paling mudah dilihat; betapa banyak penebangan pohon di sepanjang ruas hanya karena dalih pelebaran jalan. Lebih jauh lagi, target percepatan ekonomi berbasis transportasi menjadi kata kuncinya. Demi tujuan itu, bahkan nilai-nilai luhur budaya dan tradisi pun ikut tergerus. Terbukti, pelebaran jalan tidak perlu mempertimbangkan sempadan dan akses pejalan kaki. Di saat di negara-negara lain akses pejalan kaki dimuliakan dengan pedestrian, di sini justru dihabisi.

Itu hanyalah sedikit dari banyak hal yang perlu diperhatikan oleh semua lapisan masyarakat. Oleh sebab itulah, melakukan perubahan dan penyelamatan tidak dapat dilakukan sepihak, melainkan harus bersama-sama. Langkah awal yang harus dimulai adalah dari lingkungan di komunitas terkecil masyarakat, yakni keluarga. Kepala rumah tangga harus mampu menjelaskan sistem tata kelola lingkungan dan kebergantungan kita kepada alam kepada anak dan anggota keluarga lainnya.

Wawasan lingkungan (hidup) harus diketahui oleh semua orang. Ada sedikit dari banyak hal prinsip yang patut kita jelaskan kepada mereka.  Di antara yang paling mendesak adalah kerusakan alam akibat hal-hal yang tampak remeh dan ada di sekitar kita. Di antaranya adalah:

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air
M Faizi (Facebook)

Limbah Makanan

Limbah makanan merupakan satu dari sekian masalah besar di muka bumi. Dan tema ini akan menempati ruang diskusi penghamburan energi yang sangat besar. Rangkaian penyebabnya sangat panjang sehingga kerapkali dianggap tidak berdampak sistemik. Orang awam lebih tertarik membahas efek rumah kaca, yaitu terperangkapnya suhu permukaan Bumi, terhalang oles gas emisi (seperti karbon dioksida) pada atmosfer. Gas emisi tersebut kebanyakan berasal dari asap kendaraan dan pabrik. Semakin hari, semakin banyak jumlahnya. Akibatnya, Bumi semakin panas dan rawan bencana. Namun, soal limbah makanan adalah hal lain yang tak kalah runyamnya.

Elizabeth Royte menggambarkan seperti ini: sayur yang tidak dimakan dan jadi sampah di meja makan itu juga membutuhkan cahaya matahari saat masih menjadi sayur segar. Ia juga diangkut dengan kendaraan yang menghabiskan energi fosil, dan mungkin saja juga masuk ke ruang pendingin yang menyedot listrik, menyerap minyak, dan seterusnya. Tumpukan limbah ini tampak sepele. Namun, dari data yang dikumpulkan Royte, jika seluruh sisa makanan di dunia ini dikumpulkan, maka ia akan setara dengan sebuah negara penghasil limbah terbesar nomor 3, setelah Tiongkok dan Amerika.

Kearifan lokal dari leluhur kita tentang “tangisan nasi yang tidak dimakan di atas piring” akan menemukan eksistensinya di sini. Ini baru perhitungan kasar. Sekadar menyebut contoh, petani kerap terpaksa membuang makanan yang masih layak olah hanya karena tidak bisa diekspor/dijual ke pasar, bukan karena alasan karena tidak sehat, melainkan hanya karena buruk secara bentuk (seperti timun dan terong yang berntuk bulat, atau dlsb), padahal sayur yang bernasib malang itu juga menghabiskan banyak air, banyak pupuk, banyak biaya lainnya. Sejatinya, ia masih mungkin sampai ke mulut manusia sebagai makanan andaikan bisa dikelola.

Adat budaya terkadang  juga kontraproduktif, semisal adanya aturan tidak tertulis untuk menyediakan makanan pada acara-acara tertentu lebih banyak dari yang semestinya mampu dimakan. Mengapa? Alasannya adalah “takut dituduh pelit” atau “tidak pantas”. Kenyataannya, setiap berlangsung acara makan-makan, pemubaziran makanan pasti terjadi. Masyarakat kerap berpikir bahwa “mampu membeli/membayar” itu sama dengan “boleh mubazir”, padahal dua situasi itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Dan ini tidak terjadi hanya kepada limbah makanan, melainkan juga pada penghamburan energi.

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air
M Faizi (Facebook)

Pemubaziran Energi

Gaya hidup berperan banyak mengubah kehidupan seseorang bukan semata-mata bagaimana cara ia tampil di muka umun, tapi bahkan dalam hal menghambur-hamburkan. Kita dapat dengan mudah mengambil contoh akan kasus energi ini. Salah satu yang paling tampak adalah pemubaziran energi bahan bakar fosil.

Hingga saat ini, kendaraan bermotor yang perannya sangat besar untuk transportasi orang dan barang adalah pengguna energi fosil. Entah di tahun berapa, mungkin belum diketahui atau memang dirahasiankan, energi fosil akan habis dikeruk dan disedot. Cadangan bahan bakar minyak yang digunakan oleh hampir semua alat angkut terus menyusut meskipun ladang-ladang baru ditemukan dan dieksplotasi. Mengapa kita tidak mengembangkan energi yang terbarukan, energi dari matahari dan angin dan air? Ada jawaban panajng untuk itu yang kurang pas untuk diselempitkan dalam artikel ini.

Rendahnya pemanfaatan transportasi umum juga merupakan bentuk penghamburan ini. Kita dapat melihat perilaku manusia dengan mudah. Jarak yang semestinya bisa ditempuh dengan berjalan kaki kini sudah dibiasakan dengan mengguakan sepeda motor. Kita juga melihat bagaimana kendaraan umum ke kota yang satu dan tersedia selalu ditinggalkan perlahan-lahan dan tergantikan oleh kendaraan pribadi yang ternyata hanya digunakan oleh satu orang. Dampak dari kenyataan ini, jika dikumpulkan, akan menghasilakn jumlah yang besar sebagai penyumbang emisi karbon, penyerapan bahan bakar fosil, polusi suara, dan serangkaian kejahatan terhadap alam lainnya.

Pada tataran yang lebih ringan, serangkaian kebiasan kontra-produtif juga tampak di ruang-ruang keluarga. Lihat bagaimana keluarga yang mampu menggunakan energi listrik secara berhamburan dan itu terjadi karena satu alasan: “kami mampu membayar. Apa urusan kalian?”. Sesat pikir seperti ini mudah ditemukan dalam cara dan pola pikir masyarakat kebanyakan. Wajarlah jika dikatakan kepada mereka: “Ya, betul. Kalian itu memang mampu membayar pulsa atau rekening, tapi kalian sama sekali tidak akan mampu mengembalikan kerusakan alam yang dirusak lebih parah hanya demi memfasilitasi suplai listrik yang kalian gunakan melebihi dari yang sejatinya kalian butuhkan”. Serangkaian masalah akan mengular jika didaftar: lampu jalan yang menyala di siang hari, charger yang dibiarkan tertancap tanpa kepentingan mengisi baterai; pendingin ruangan yang terus hidup pada saat penghuninya tidak di tempat, dan seterusnya. Semua pemubaziran ini—sekali lagi—bermula dari sesat pikir, bahwa sepanjang mampu membayar, apalagi gratis, kita bebas menggunakanya semena-mena.

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air
M Faizi (Facebook)

Sampah Rumahan

Selain itu, sampah rumahan juga ikut andil besar dalam merusak alam. Yang terbesar di luar sampah makanan adalah kemasan plastik dan popok. Semua ini juga terjadi karena sudut pandang yang menyesatkan tadi, yaitu “mampu membeli = boleh mubazir”. Prinsip ini, tidak dapat dipungkiri. Ia menghuni cara pandang banyak orang. Bukan sebab karena mampu mengeluarkan uang untuk buat beli popok lantas kita boleh semena-mena. Pernahkah Anda berpikir, ke mana popok-popok itu dibuang? Apakah selokan dan sungai adalah tempat sampah? Ditimbun?

Nenek moyang kita membiasakan menggunakan kain perca untuk popok. Di samping dulu teknologi gel belum ditemukan, cara ini dianggap ramah lingkungan juga hemat dan aman. Tahukah Anda, apakah bahan dasar gel itu? Tidak jelas dari bahan apa itu dibuat, tapi mungkin saja berasal dari sampah yang didaur ulang dengan cara “diputihkan” melalui proses kimiawi.

Barangkali, kita tidak benar-benar bisa meninggalkan produk popok-sekali-pakai yang jelas-jelas menyumbang sampah sangat besar bagi lingkungan, tapi kita bisa menunda pemakaiannya dengan cara kombinasi dengan warisan orang kuna, popok buatan. Dan hal itu juga berlaku untuk kasus sampah plastik.

Dari sekian banyak sampah plastik keras, sampah botol air mineral adalah penyumbang terbesarnya. Memang, ia bisa didaur ulang, tetapi sebagiannya tidak, tetap jadi sampah. Coba perhatikan, setiap kali menghadiri undangan, kita akan disuguhi berkat, dan terkadang air minum dalam kemasan. Celakanya, suguhan ini bahkan mampu mengubah derajat gelas beling, bahwa minuman botol plastik lebih memiliki kesan penghormatan kepada tamu daripadanya. Yang terjadi di dalam masyarakat adalah begini adanya. Betapa banyak sampah plastik dibikin hanya untuk sekali pakai dan selanjutnya menjadi sampah yang butuh ratusan tahun untuk bisa diurai. Kita ingin menghormat orang lain (tamu), tetapi tidak juga ingat untuk menghormat alam ciptaan Tuhan.

Harus diakui, kita memang tidak bisa terlepas dari plastik. Kita tidak bisa antipati kecuali akan mengucilkan diri dari sistem kehidupan masyarakat secara luas. Yang dapat dilakukan dalam wujud pendidikan lingkungan adalah “menunda”, sekali lagi “menunda”. Prinsipnya, membuang sampah ke tempatnya (keranjang sampah) itu adalah anjuran yang benar, tetapi menunda barang agar tidak segera menjadi sampah adalah anjuran yang bukan sekadar benar dan baik, tetapi juga bijaksana. Barangkali kita memang tidak bisa tidak untuk menggunakan sampah plastik dalam kegiatan-kegiatan sosial dan massal, namun kita bisa menghindarinya dalam kegiatan pribadi yang sifatnya rumahan. Inilah salah satu itikad yang sepatutnya diinternalisasi kepada semua lapisan masyarakat, dan tentu saja dimulai dari komunitas yang terkecil, yaitu keluarga.

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air
M Faizi (Facebook)

Air, Pembangunan, dan Karst

Masalah pelik lainnya adalah penghancuran pegunungan karst di mana-mana. Target penghancuran adalah batu gerinda pengganti pasir untuk tingkat rendah, dan pabrik semen untuk skala besar. Salah satu dampak terbesar dari penghancuran ini adalah hancurnya tandon raksasa/resapan air.

Kasus petani Kendeng adalah salah satu isu yang mencuat akhir-akhir ini. Ancaman yang lebih besar adalah rencana penghancuran pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kutai Timur. Semua itu didasarkan demi pembangunan, mirip dengan pembukaan lahan pertanian baru dengan membakar hutan; sudah merusak, membakar pula. Filosofi “demi kemakmuran dan kemajuan” terkadang menipu, karena makmur itu tidaklah dengan cara menghancurkan.

Di Madura, penghancuran batu karst sedang berlangsung besar-besaran. Proyeknya kecil-kecil, tapi karena jumlahnya banyak, maka hasil akhirnya tetaplah besar. Pegunungan karst adalah tandon besar untuk menampung air di musim huijan yang akan dihisap/dialirkan hingga akhir kemarau berakhir. Jadi, reboisasi yang digalakkan agar air tercukupi namun tandonnya telah lebih dulu dirusak adalah omong-kosong. Seberapa kuatnya batang-batang pohon menyimpan air? Padahal kita tahu, semua makhluk hidup membutuhkan air, apalagi manusia. Lalu, bagaimana nasib manusia jika hajat dasarnya (air) kini menyusut karena kelakuan yang sedikit dari mereka?

Rusaknya ekosistem dapat menyebabakan banuyak hal. Keruksaan itu mungkin berlangsung secara lambat laun sehingga masyarakat tidak menyadarinya. Mereka baru akan merasakan dampak buruk darinya di masa kemudian. Tentu saja, mereka yang telah merusak di saat ini tidak akan sempat melihat kerusakannya secara langsung sebab mereka telah mati berkanang tanah. Siapa yang jadi korban? Anak cucu tentunya. Maka, banyak di antara kita yang mungkin hanya berpikir rentang 5 hingga 10 tahun ke depan, padahal mestinya apa yang kita lakukan harus dipertimbangkan untuk jangka waktu yang lebih jauh lagi karena alam ini bukanlah milik pribadi, melainkan anugerah Tuhan yang seharusnya diwariskan kepada anak cucu dan generasi mendatang, bukan dihabiskan sekarang.

Masa Depan Peradaban Madura Tanpa Air
M Faizi (Facebook)

Lantas, Kita Mau Apa?

Masih banyak masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah tangga kita di luar yang sedikit dan sudah dibahas di atas. Persoalan alih fungsi lahan produktif, tata ruang yang semrawut, hingga perampasan ruang hidup dan pengrusakan yang terorganisir, adalah sedikit dari banyak masalah lain yang butuh perhatian. Yang dapat dilakukan adalah mitigasi, advokasi, dan ‘pencerahan’ terhadap semua lapisan masyarakat, terutama sejak usia kanak, tentang hubungan timbal-balik manusia dengan alam serta bahaya pengrusakan terhadapanya. Langkah ini dimulai dari pendekatan budaya dan secara teknis dapat dilangsungkan dari keluarga, terutama di ruang-ruang sekolah.

Di sekolah SMA 3 Annuqayah, dan mungkin juga di banyak sekolah yang lain, salah satu muatannya adalah “Pendidikan Lingkungan”. Di sekolah itu, siswi yang tergabung dalam kelompok PSG (di bawah OSIS) bergerak dalam mengkampanyekan bahaya sampah plastik, manfaat pupuk organik, hingga kampanye pemberdayaan pangan lokal.

Demikianlah, pendidikan tersebut harus dimulai dari ruang yang paling kecil, paling terbatas, berkesinambungan, dapat dimulai dari keluarga, dari mulut ke telinga, dari tangan ke tangan, dan seterusnya. Dan di atas itu semua, gerakan ini harus berlandaskan komitmen yang kuat. Tanpanya, kegiatan akan menjadi kegiatan belaka tanpa hasil yang memadai.

Kata kunci yang harus terus dipegang adalah “keseimbangan”. Dan itulah yang dilakukan nenek moyang kita melalui tindakan tindakan budaya. Dengan menjaga keseimbangan alam, hidup akan sejahtera. Meskipun saat ini kita sudah terlambat, tapi akan lebih mengerikan jika tidak ada yang memulai. Benar seperti kata Emil Salim yang kurang lebihnya seperti ini: “Kita punya satu bumi, tapi yang merusakanya ratusan bangsa yang justru hidup darinya”.

Dan tentu saja, masyarakat tidak bisa dibiarkan berjalan dan bekerja sendiri. Justru Negaralah yang paling besar tanggung jawabnya atas persoalan asasi ini karena tugas Negara adalah menjamin kehidupan rakyatnya. Tapi, apakah kita harus mengharapakan dan menggantungkan harapan kepada mereka? Kita cukup mengurus yang remeh-temeh saja, dari depan rumah, dari keranjang sampah, dari ruang makan. Yang besar-besar yang butuh kebijakan Nasional, biar Negara yang mengurusnya. Sebab, jika hanya berharap kepada mereka, syukur jika suara kita didengar, lebih menakutkan jika justru merekalah yang akan merampas ruang hidup kita dan membuat lebih sengsara melalui kebijakan-kebijakan yang memihak para pemodal tapi justru menyengsarakan rakyat banyak. Semoga tidak!

***

Setelah matahari meninggi dan tubuh mulai hangat karena berjemur, aktivitas membaca saya sudahi. Iklan-iklan dan berita remeh, berita tokoh-tokoh kutu loncat, korupsi, sampah, semuanya sudah saya lewati. Kini, saatnya saya menyalakan mesin pemanas, lalu mandi air hangat, menggunakan sabun dan kosmetika lainnya, membuang banyak limbah bersamanya, menyalakan dan memanaskan mesin mobil seraya membuang banyak polutan ke udara…

Memang kenapa? Tak ada masalah, sudah biasa begitu.

Sebentar lagi, saya akan berjibaku dengan kemacetan jalan raya, lengkap dengan kesemrawutan dan keugal-ugalan para pelalu lintasnya.
Memang kenapa? Tak masalah, sudah biasa begitu.

Semua berjalan normal-normal saja, setiap hari.
Betapa enaknya andai tidak tahu.
Betapa entengnya hidup dalam ketidaktahuan. (*)

*M Faizi, dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1975, di desa Guluk-Guluk, Sumenep (Madura).


Note: Artikel ini pernah dimuat di blog pribadi penulis, sabajarin.wordpress.com pada 9 Januari 2018, dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.