Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Para Anonim dan Hilangnya Kepakaran di Media Sosial


ORANG
jadi lebih berani bicara dan percaya diri di media sosial sesungguhnya adalah kabar yang cukup menggembirakan untuk demokrasi. Tapi, bagaimana proses orang-orang tersebut menerima pengetahuan yang kemudian ia bicarakan, ia bagi, sekaligus menjadi alat untuk menjustifikasi pendapat lain dan situasi, penting untuk ditinjau ulang.

Suatu ketika, seorang intelektual dan tokoh perempuan mem-posting foto diri dalam sebuah acara keagamaan. Dalam waktu yang relatif singkat, ribuan akun anonim merespons dengan pesan yang relatif seragam: “Tak usah bicara agama jika cara berkerudungmu saja tak benar.”

Tulisan ini tidak hendak bicara soal kerudung. Sudah banyak buku dan konten soal itu, mulai dari yang moderat sampai yang menyeru perempuan tak boleh tampak apa pun kecuali mata. Jadi, kita akan membahas hal lain. Seperti akses untuk hal publik lain, identitas perempuan memang paling mudah dikontrol lewat cara berpakaian. Oleh karena itu, soal simbol-simbol yang melekat pada tubuh perempuan sesungguhnya lebih dari sekadar kain atau aksesoris yang melekat, melainkan sangat politis.

Mengontrol tubuh perempuan dapat berarti mengontrol kemerdekaan perempuan untuk bicara dan bertindak, lebih-lebih jika menjustifikasi kontrol moral tersebut menggunakan tafsir tekstual dan tradisional pada teks agama.

Dalam persoalan di atas, akun-akun anonim menggunakan sebuah formula: Kalau kamu tidak berjilbab, maka jangan bicara Islam. Kalau kamu sudah berjilbab, lihat dulu seberapa panjang jilbabmu. Kalau kerudungmu hanya berupa kain selendang, mending diam saja. Apalagi jika kamu tidak berkerudung, bisa-bisa langsung ditanya: agamamu apa? Dan, sayangnya meningkatnya konservatisme yang dilengkapi dengan kontestasi Islam politik membuat pola komunikasi menyerang semacam itu kian marak.

Di media sosial, ribuan akun anonim bekerja aktif yang berdampak buruk pada proses pertukaran informasi. Akun-akun ini bekerja secara keroyokan dalam satu waktu, seperti orang-orang yang bekerja dengan jadwal tertentu. Ketika para anonim bekerja untuk merespons kebijakan Kementerian Agama terkait rilis nama 200 mubalig, misalnya, ribuan akun ini akan bekerja dengan menarget akun Menteri Agama KH Lukman Hakim Saifuddin. Dalam satu hari, kita akan menyaksikan tak terhingga konten cacian dan makian membanjiri kolom reply pada akun Twitter Pak Menteri.

Cara terbaik untuk merespons para anonim ketika mereka sedang beroperasi adalah dengan mengabaikannya. Jika diabaikan, mereka tidak akan membalas, atau memproduksi konten jawaban yang berpotensi mengamplifikasi pesan tersebut. Paling-paling, para anonim akan membiakkan bot lebih banyak lagi agar linimasa semakin berisik.

Konten kicauan para anonim telah memiliki format tertentu. Para anonim tidak mungkin atau amat jarang membagikan gagasan yang autentik, lebih-lebih terlibat dalam diskusi yang sehat untuk sebuah topik. Tugas mereka adalah pertama, menyanggah (dengan jawaban yang sudah disediakan pemasok konten sehingga jamak kita tahu ribuan opini hasil copy paste dan seragam).

Kedua, menyerang, dengan format ujaran kebencian yang juga telah disediakan oleh pemasok konten. Jika beruntung ada penulis yang jernih menyampaikan gagasan yang kebetulan bersesuaian dengan misi kelompok mereka, maka tugas mereka adalah melakukan retweet agar pesan teramplifikasi lebih luas. Retweet bisa juga disetarakan dengan tindakan membagikan informasi pada platform media sosial lain, atau seketika berbagi informasi tersebut di grup-grup pesan instan pada gawai masing-masing.

Tujuan para anonim adalah merebut narasi di linimasa (mainstreaming timeline). Sebagai contoh, Prof. Mahfud MD berkicau tentang marwah konstitusi dan pentingnya menjaga keberagaman di NKRI. Maka, para anonim yang sedang “piket” berkewajiban merespons kicauan Pak Mahfud. Jika ribuan anonim bekerja semua dengan format jawaban oposisi, maka pesan tweet Pak Mahfud akan tenggelam, dan seolah para anonim dengan jumlah besar (meskipun bot) inilah yang lebih benar. Kondisi semacam inilah yang sering disebut sebagai hilangnya otoritas ilmu pengetahuan atau kepakaran di media sosial.

Seringkali, bot-bot yang sedang “piket” dengan format ujaran kebencian, provokasi, dan intimidasi memiliki tujuan agar si pembawa gagasan ketakutan, atau minimal malas menjawab. Siapa yang tak gentar dengan ribuan makian meskipun hanya berupa kata-kata? Dan, siapa yang sanggup melayani diskusi secara sehat dengan para anonim yang seringkali berkicau tanpa narasi yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan?

Ngomong-ngomong, seorang kawan di sindikasi Islam Damai pernah iseng-iseng serius men-track sebuah akun anonim. Akun anonim ini paling rajin membela agama, memproduksi kicauan dengan bahasa intimidatif, dan tampak saleh sekali ketika sedang mengedarkan jargon-jargon politik Islam. Kami berhasil menemukan identitas aslinya. Ternyata, di dunia nyata, ia adalah orang yang amat biasa dan awam. Meskipun ia sering menjadikan kerudung kain sebagai olok-olok sebab menurutnya tak syar’i, ternyata di keseharian istrinya pun tak berjilbab.

Jelas bahwa para anonim ini sesungguhnya bukan seorang yang amat heroik seperti kesan dalam kicauannya yang begitu saleh, dan seolah siap mati demi agama. Melainkan orang-orang yang murni bekerja dalam bisnis pengaburan informasi dan industri politik yang kian hari kian kotor. Jadi, apakah Anda masih menyebarluaskan informasi yang tak jelas asal-usulnya? (*)

*Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih


Sumber: detik.com