Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Desa-Kota dalam Peradaban Jawa


BEBERAPA
waktu lalu baru saja masyarakat desa yang bekerja di perkotaan atau masyarakat kota yang lahir dan berasal dari desa-desa, secara kolosal menggelar hajat bersama bernama “mudik Lebaran”. Kota-kota besar lantas sempat dibikin lengang beberapa hari. Di situ terlihat bahwa penghuni kota-kota besar di Indonesia mayoritas memang masih warga perdesaan –minimal masih terikat dengan kampung halamannya.

Ada pertanyaan, sebetulnya bagaimana hakikat desa dan kota di masa lalu, serta bagaimana komposisi penghuninya? Jika mengikuti antropolog Robert Redfield (Supratikno Rahardjo, 2011: 25-26), desa dianggap berisi kelompok petani yang kerap mengembangkan tradisi kecil (little tradition), sementara kota adalah masyarakat yang berada di pusat kebudayaan yang cenderung mengembangkan peradaban dalam tradisi besar (great tradition).

Jika tradisi besar dianggap ditularkan oleh elite-elite ahli (policy maker, pemikir, pujangga, ahli agama) dengan kesadaran penuh untuk dipraktikkan, maka tradisi kecil yang berada di kampung-kampung dianggap sebagai sesuatu yang liar dan tak ditumbuhkan dari tradisi berpikir reflektif –sekadar berkembang secara alamiah dalam suasana hutan dan pegunungan. Tak mengenal alat untuk mengabadikan (tulisan), hanya diturunkan secara lisan atau dari kuping ke kuping, dan berakhir menjadi dongengan (folklore).

Pendefinisian di atas rasanya memang kelewat dikotomik dan biner. Dalam narasi lokal Jawa pernah terpacak adagium “desa mawa cara, kutha mawa tata” (desa sumber inspirasi/inisiatif, sementara kota adalah lokus pelaksanaan inisiatif). Ungkapan ini lebih tidak diametral dalam mendefinisikan desa dan kota, bahkan membuat keduanya bisa saling berpaut.

Mengikuti adagium di atas, meski desa/kampung adalah ruang yang kerap dihadap-hadapkan secara diametral dengan kota (saling menegasi, meski sering juga saling mengafirmasi), lantas dinilai secara sekunder, ia sebetulnya adalah ruang yang dihidupi oleh karakteristiknya sendiri, menjadi lokus inspirasi dan tempat mengambil inisiatif (mawa cara) bagi wilayah-wilayah di pusat pemerintahan (perkotaan). Mawa cara-nya desa itu antara lain adalah realitas bahwa di tiap-tiap desa hidup seperangkat pengetahuan dan kemampuan lokal (sudut pandang, abstraksi, nilai-nilai khas, dan lain-lain) yang kerap dirumuskan orang secara mana suka dengan istilah kejeniusan atau kemampuan lokal (local genius).

Sejak pertama kali diperkenalkan oleh arkeolog H.G Quaritch Wales pada 1948, peranan local genius ini sudah mulai banyak dibicarakan. Local genius yang semula digunakan untuk menjelaskan aspek seni peninggalan fisik berupa monumen-monumen, arca, dan motif hias jangkauannya diperluas ke aspek-aspek kebudayaan lainnya yang lebih abstrak, seperti agama, bahasa, struktur sosial, dan kesenian.

Masih terkait local genius atau narasi lokal, Jones (1984) misalnya, pernah menyusun –melalui prasasti — daftar nama-nama desa di Jawa yang diketahui sejak tahun 929 M, sekurangnya terdapat sejumlah sekitar 407 desa. Meski tidak diketahui apakah seluruh nama-nama desa yang disebut dalam prasasti-prasasti itu telah mencantumkan semua desa yang ada pada saat itu atau belum. Begitu pula, apakah semua desa tersebut sudah membentuk sistem-sistem jaringan yang masing-masing terdiri dari lima desa: satu desa induk yang dikelilingi oleh empat desa di penjuru mata angin (pola panatur desa/mancapat) atau kelipatannya.

Dengan pola mancapat tersebut, setiap desa memiliki peluang sekurang-kurangnya sekali dalam lima hari menjadi pusat pertukaran barang dalam siklus pasar (Supratikno Rahardjo, 2011: 319). Disinyalir dari situlah embrio pasar tradisional di desa seperti yang kita kenal dahulu bermula.

Menurut Supratikno, terdapat kesan kuat dari gagasan Redfield bahwa kelompok masyarakat yang terpelajar hanya ada di kota; dan sebaliknya, kelompok yang tidak terpelajar berdiam di desa-desa. Padahal, kedua kelompok itu dapat dijumpai baik di desa maupun di kota. Konsep Redfield tentang tradisi besar banyak dikritik karena memberi kesan bahwa tradisi tersebut bersifat monolitik (hanya ada satu versi yang berkembang). Padahal, tradisi besar bisa muncul dalam berbagai bentuk.

Menurut Denys Lombard, kekayaan data seperti dari prasasti (epigrafi) dan kakawin (filologi) yang mendiskripsikan wilayah-wilayah agraris yang demikian banyak itu memang tidak berdasar pada kota-kota perdagangan dan lautan, tapi ruang agraris persawahan di pedalaman. Bahkan berkat dokumen epigrafi yang relatif banyak, kita semakin dapat memahami dengan mudah –sedikitnya– mekanisme-mekanisme administrasi kerajaan sejak dari periode yang agak kuno, yang membedakannya dengan jaringan-jaringan perniagaan yang tak meninggalkan bekas yang berarti sebelum abad ke-15.

Ciri masyarakat kita yang agraris itu di antaranya, sebagaimana ditulis Lombard, adalah adanya hikayat, babad-babad, fenomena umum dari model hierarki, dan –yang paling fenomenal– munculnya pola anglomerasi urban. Yang tentu berbeda dengan pola yang kita lihat di Eropa (Eurosentris). Pada kota-kota agraris di Jawa, ambillah misal kota-kota zaman Majapahit, juga kota-kota di Surakarta dan Yogyakarta (Mataram) di abad-abad sesudahnya, merupakan pusat kerajaan sekaligus menjadi pusat kosmologi yang berada dalam simbiosis (keterpaduan) dengan daerah sekelilingnya. Tanpa adanya unsur pemisah, dari kenyataan topografi maupun dalam pandangan konseptual (Lombard, 2008: hlm. 173-174).

Dalam organisasi teknis pemerintahan di masa Mataram, pernah muncul istilah negaraagung, mancanegara, dan pasisir. Negaraagung adalah daerah besar/pusat/inti; mancanegara adalah daerah sekitar atau tetangga; dan pasisir adalah daerah luar. Di zaman Majapahit kita juga diperkenalkan dengan daerah pusat (kutha raja) dan daerah-daerah vasal, yang biasanya diperintah oleh anggota keluarga raja yang terdekat (paduka bhatara). Sementara daerah-daerah di luar Jawa, dalam Nagarakrtagama, disebut sebagai daerah mandalita rastra/daerah sekeliling (Soermarsaid Moertono, 1985: hlm. 118).

Di zaman kerajaan-kerajaan Hindu, secara kosmologis, ibu kota tempat tinggal raja merupakan pusat kekuatan magis, tapi dari sudut pandang politik, daerah pusat juga sama pentingnya. Daerah pusat diatur dengan sistem pembayaran gaji untuk pejabat-pejabatnya, berupa lungguh (apanage). Sementara daerah luar diatur dengan cara yang lebih longgar. Dalam Negarakrtagama ada tiga wilayah yang dipengaruhi kekuasaan, yaitu Jawa, daerah-daerah serta pulau-pulau di luar Jawa termasuk bagian selatan Semenanjung Malaka, dan yang terakhir adalah wilayah luar negeri seperti Champa dan Kamboja.

Pada masa Mataram ada negara (ibu kota) nagaraagung (daerah inti), mancanagara (serta pasisir) yang menjadi daerah bagian luar, juga tanah sabrang/wilayah di seberang laut. Dari sini bisa kita cermati bahwa negara-negara Jawa direncanakan mematuhi lingkaran konsentris, dengan pusat lingkaran di istana sampai berakhir dengan wilayah-wilayah yang letaknya paling jauh (Soermarsaid Moertono, 1985: hlm. 130-131).

Lingkaran konsentris ini selain merupakan lingkaran administratif juga dapat digunakan untuk mengukur perihal seberapa kuat “lingkaran pengaruh”-nya kepada pusat. Semakin keluar tentu pengaruhnya tidak lebih kuat dibanding lingkaran yang paling dekat (lingkaran dalam). Pada lingkaran-lingkaran dalam di wilayah nagaraagung, raja memberikan hak-hak kepada pejabatnya atas sebagian hasil tanah dan menarik jumlah tertentu dari pajaknya untuk dirinya. Membagi pendapatan dari tanah untuk diri dan pejabatnya.

Lebih khusus, di wilayah negaraagung para raja membagi tanah dengan para pemegang lungguh beserta para bekel-nya (pegawai, petugas pajak). Sementara, di wilayah mancanegara antara raja dengan kepala daerah (bupati) beserta bawahannya –kepala distrik dan kepala desa (Soermarsaid Moertono, 1985: hlm. 135).

Hak atas tanah yang diberikan oleh raja (tanah sebagai gaji) ini dibagi dua; pertama adalah lungguh, yang cuma berlaku di wilayah nagaraagung. Sebab semua pejabat keraton dari yang tertinggi sampai yang terendah dan juga beberapa kepala daerah dari provinsi lain hidup dari lungguh ini. Kedua adalah tanah bengkok yang hanya berlaku di wilayah mancanegara, kendati keberadaannya tidak lebih tua dari tanah lungguh (Soermarsaid Moertono, 1985: hlm. 137).

Sejak dulu, wilayah-wilayah perkotaan memang cenderung memelihara kebudayaan industri dan perdagangan (bidang pelayanan dan jasa), dan sebaliknya, desa secara jamak masih terus memilih memelihara kebudayaan bertani dan bercocok tanam serta nelayan (bagi sebagian daerah pesisirannya).

Bisa jadi, dalam konteks Jawa, wilayah negaragung masa Mataram adalah salah satu alur dari kelahiran sebagian kota-kota besar di Jawa, sementara wilayah mancanegara sendiri dekat dengan pembentukan kota-kota kecil, juga desa-desa yang masih memelihara dan menjaga kultur-kultur agraris (ruang komunal untuk berinteraksi antarsesama penduduk yang melahirkan berbagai variasi gotong-royong seperti ronda, sistem upah dengan bawon, dan lain-lain) maupun interaksi dengan alam sekitar, yang melahirkan bentuk-bentuk pertanian subsisten.

Itulah mengapa ketertarikan masyarakat desa untuk bekerja di sektor-sektor pelayanan dan jasa di wilayah-wilayah perkotaan, yang lebih menjamur dan serba lebih banyak pilihan, secara garis besar memang adalah salah satu magnet utama yang menarik masyarakat perdesaan tanpa putus melakukan urbanisasi ke wilayah perkotaan semenjak dahulu. (*)

*Misbahus Surur, esais dan pengajar di Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang.


Sumber: detik.com