Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebakaran Hutan, Tanggung Jawab Siapa?


SEKELOMPOK
masyarakat Kalimantan Tengah pada 2016 menggugat pemerintahan Joko Widodo (negara) terkait perbuatan melawan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya No: 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk.

Pada 22 Maret 2017 gugatan masyarakat tersebut dikabulkan, dan PN Palangkaraya memutuskan: 1) Para tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum; 2) Menghukum Tergugat Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta harus melibatkan peran serta masyarakat.

Selanjutnya Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya memvonis Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah serta Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus karhutla. Presiden Joko Widodo dan pihak terkait dianggap tidak mampu memberikan kepastian hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat kepada seluruh rakyat Kalimantan Tengah yang ditandai maraknya karhutla.

Berdasarkan hasil putusan PN dan PT Palangkaraya tersebut Persiden Jokowi memilih untuk menempuh jalur hukum dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada 2017.

Aturan yang Jelas

Fenomena kebakaran hutan dan lahan gambut setiap tahun sering dianggap sesuatu yang biasa terjadi, bahkan di kalangan pengambil kebijakan. Di antaranya kasus kebakaran hutan dan lahan beberapa provinsi di Indonesia seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.

Secara normatif, pemerintah sudah mempunyai aturan yang jelas tentang larangan membakar hutan, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahkan peraturan teknis yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, “Setiap orang dilarang: (a) melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; (h) melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.”

Mengingatkan Janji

Putusan PN dan PT Palangkaraya tersebut menurut pendapat saya ingin mengingatkan kementerian dan badan-badan kehutanan dan lahan gambut di bawah pertanggungjawaban Presiden untuk lebih berperan dan bertanggung jawab dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, pengendalian kebakaran hutan, dan penjagaan lingkungan hidup yang sehat, dan perlunya meninjau akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (Peraturan Presiden No 29/2014). Yaitu, akuntabilitas kementerian teknis bidang kehutanan bersama-sama melaksanakan fungsi dan tugas dengan dinas kehutanan dan lingkungan hidup di daerah karena objek kebakaran hutan dan lahan tersebut berada di daerah.

Putusan pengadilan tersebut sebenarnya juga ingin mengingatkan janji Presiden Joko Widodo dalam 9 agenda prioritas program pemerintahan yaitu Nawacita, di antaranya menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara dan agar pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi.

Tim penanggulangan kebakaran hutan di kementerian terkait kehutanan dan lingkungan hidup, badan-badan yang dibentuk untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, serta komunitas seperti Masyarakat Peduli Api (MPA) selama ini terkesan kurang solid, berjalan sendiri-sendiri, kurang ada evaluasi dan monitoring maupun tindak lanjut, dan cenderung hanya bersifat reaktif terhadap satu kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Padahal, sebenarnya untuk mengantisipasi penyebab kebakaran hutan selalu akan sama. Yaitu, kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari areal perkebunan, hak pengusahaan hutan tanaman industri (HTI), dan hutan gambut yang rentan terbakar. Jika hutan dan lahan terbakar merupakan hutan negara, maka yang bertanggung jawab adalah negara, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan, jika hutan atau lahan yang terbakar merupakan kawasan hutan tanaman industri (HTI) ataupun kawasan perkebunan kelapa sawit, yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan pemilik HTI atau pemilik perkebunan sawit yang bersangkutan.

Menjadi pelajaran bahwa negara dan pemerintah kurang memperhatikan pihak-pihak yang dirugikan dari kebakaran hutan. Yaitu, masyarakat adat atau masyarakat desa setempat terutama perempuan dan anak-anak yang bermukim di sekitar hutan dan lahan gambut dan terpapar asap yang membahayakan kesehatan dan jiwa mereka. Mereka membutuhkan kepastian dan keadilan agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan berulang-ulang. Penanggulangan serta pertanggungjawaban atas kebakaran hutan dan lahan perlu lebih transparan dan jelas, serta pemerintah dan negara harus terikat pada hukum yang dibuatnya sendiri. (*)

*Nukila Evanty, Advisory Boards of Asia Centre and Executive Director of Women Working Group (WWG).