Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merintis Kepenulisan dari Pengalaman


GURU
terbaik dalam kehidupan ini adalah pengalaman. Demikian kata bijak sering penulis dengar. Pengalaman terbaik adalah apa yang dialami seseorang dan berkesan serta membekas menjadi kebiasaan. Kebiasaan inilah yang dapat menyertai perjalanan hidup seseorang sampai di hari tua kelak.

Sama halnya dengan kebiasaan menulis seseorang bermula dari pengalaman menulis sejak ia baru bisa membaca huruf sampai pemahaman tingkat tinggi. Pengalaman menulis sejak kecil akan membekas terus dalam kegiatan menulis sampai kapan pun. Sama halnya dengan kebiasaan membaca. Ia akan terus membekas dalam kehidupan sampai seseorang itu tak bisa membaca lebih lanjut.

Menulis dapat dirintis dari kebiasaan-kebiasaan. Tak mudah menumbuhkan kebiasaan ini tanpa kemauan besar untuk dapat menulis. Berangkat dari pengalaman penulis, menulis dapat ditumbuhkembangkan dengan cara-cara sebagai berikut:

Pertama, menyediakan diary. Sebagai pemula, penulis pada waktu baru-baru menjadi santri selalu berkutat dengan diary yang penulis isi dengan berbagai aktivitas kepondokan dan curahan hati di waktu sedang galau.

Aktivitas pondok, misalnya pengajian kitab, kursus-kursus, kajian-kajian keislaman, sampai sesuatu yang dianggap sepele seperti rebutan tempat air untuk mandi, bahkan tumbuhnya cinta pertama (sorry lho, bro!), semuanya adalah bahan-bahan yang asyik dijadikan judul tulisan harian. Dan yang sangat membantu merangsang imajinasi liar ala santri adalah datangnya cinta pertama (itu tadi) dalam kehidupan.

Pengalaman ini menjadi porsi terbesar dalam catatan harian sehingga dengannya kami dapat menjadi penyair dadakan. Tentu saja, saat-saat galau pun menjadi sumber inspirasi dalam menulis. Sisi kegalauan yang sering penulis alami adalah disepelekannya kemampuan penulis oleh para senior. Hal ini jadi cambuk untuk selalu bangkit agar penulis suatu saat tak disepelekan lagi.

Demikian pula, tingkat kegalauan yang lain. Ialah jatuhnya prestasi akademik di madrasah. Dan beberapa keresahan lainnya. Seperti telat kiriman dari orang tua (ortu), audiensi dengan pengurus, dan sebagainya. Sungguh, semuanya apabila dirangkai dengan kalimat runtut telah membantu penulis untuk menulis dan menulis.

Kedua, menyediakan buku-buku. Pembimbing proses kreatif penulis di MTs 1 Putri Annuqayah pernah bilang begini, ”…pancinglah daya kesukaan membaca kalian dengan membaca buku-buku yang menurut kalian menarik”. Penulis terlecut dengan ujaran itu karena sesungguhnya sebelum mondok penulis jauh sekali dari frasa ”kesukaan membaca”. Iklim yang baik di madrasah dan pondok telah mengalihkan kesukaan-kesukaan lainnya waktu di rumah, menjadi suka terhadap buku-buku.

Dan buku-buku yang penulis gandrungi, sesuai dengan ujaran pembimbing itu, adalah novel dan puisi-puisi. Pengalaman ini rupanya bukan hanya menimpa penulis. Teman-teman sejawat di madrasah dan pondok sering membawa buku-buku yang setelah penulis lihat judulnya, ternyata novel. Praktis di tahap awal itu, penulis memupuk rasa suka membaca dari buku-buku roman islami. Sesuai napas keislaman pondok pesantren.

Kebiasaan membaca buku-buku sastra ternyata membawa dampak, yang menurut penulis positif, yaitu kegemaran baru dalam bidang kepenulisan. Benar saja, memang pada mulanya penulis suka merangkai kata-kata curhat, sajak, atau cerpen. Namun, sesuatu yang lebih jauh telah mentransformasi penulis agar bisa menulis tema-tema umum. Menyangkut segala dimensi kehidupan.

Jika demikian, tidak boleh tidak, penulis harus membaca buku-buku ilmiah dengan genre berbeda. Bukan saja sastra, melainkan buku-buku jenis agama, filsafat, eksak, sosial, budaya, ekonomi, dan politik harus juga dibaca dengan baik dan benar. Tentu sesuai dengan kemampuan penulis.

Ketiga, membiasakan membawa catatan dan buku saku ke mana pun pergi. Bermula dari hobi yang mendalam tentang membaca novel, lalu menular ke lintas ilmu. Maka, saat ini penulis mempunyai kebiasaan baru lagi, yaitu selalu membawa buku saku ke mana pun pergi.

Ini bermula dari cerita guru IPS di MTs 1 Putri Annuqayah. Bahwa kemajuan orang-orang Eropa atau Jepang karena beberapa sebab. Di antaranya adalah kesukaan membaca di mana pun berada dan selalu membawa buku saku ke mana pun mereka pergi. Ini merarik, mengapa hobi itu diambil orang-orang non-Islam? Padahal, kali pertama yang mengajarkan betapa pentingnya membaca adalah agama Islam. Sebagaimana ayat yang pertama turun di Gua Hira dahulu.

Keempat, mencatat segala sesuatu yang dianggap baru. Ini kembali pada tema penulis tentang ”pengalaman”, karena segala sesuatu yang baru tersebut adalah pengalaman baru. Mencatat pengalaman baru merupakan modal agar kita bisa berinovasi dalam kehidupan. Pengalaman baru adalah tantangan buat penulis untuk lebih meningkatkan kemampuan adaptasi.

Pengalaman baru adalah suasana baru yang akan menyebabkan hati dan perasaan menjadi lebih segar dan dapat meningkatkan dinamisasi dalam belajar akan ilmu-ilmu yang terus berkembang, sesuai dengan perkembangan manusia ini.

Jika pengalaman penulis sebagaimana di atas dapat menjadi inspirasi kawan-kawan pelajar dan santri di Madura, diharapkan akan selalu melahirkan penulis-penulis andal di tanah gersang Madura. Dengan demikian, generasi penulis akan selalu hadir untuk menyemarakkan literasi. Wallahu A’lam. (*)

*Bisyarotul Walidah, Pemred Majalah Aurora edisi pertama MTs 1 Putri Annuqayah. Saat ini menimba ilmu di MA 1 Putri Annuqayah, kelas X, program Ilmu Pengetahuan Alam.


Sumber: radarmadura.id