Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Impor Beras dan Kepentingan Publik


HANYA
negara yang kuat yang mampu menghadirkan stabilisasi harga pangan. Makanya efektivitas kebijakan stabilisasi pasar sangat indentik dengan kekuatan cadangan pangan yang dimiliki negara. Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa harga beras hanya boleh paling tinggi untuk kualitas medium sebesar Rp 9.450 per kilogram, ini bentuk kebijakan stabilisasi harga yang ditujukan untuk menolong konsumen. Agar, konsumen bisa mendapatkan beras dengan harga yang bisa terjangkau. Bahasa text book-nya disebut ceiling price policy (kebijakan harga atap) atau kita kenal hari ini dengan nama Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET). Menghadirkan kebijakan itu di dunia nyata harus dengan kekuatan cadangan beras yang dimiliki negara.

Setiap warga negara yang ingin mendapatkan harga beras medium sebesar Rp 9.450 per kilogram bisa membeli beras seharga tersebut dari beras milik negara yang dijual ke pasar melalui operasi pasar. Sehingga, setiap orang yang butuh harga tersebut bisa mendapatkan dengan harga Rp 9.450 per kilogram. Pelaku pasar lainnya mau tidak mau harus menekan harga jualnya mendekati HET kalau mereka tidak ingin rugi karena beras jualannya menumpuk tidak ada yang membeli.

Semakin kuat cadangan beras yang dimiliki negara, semakin mampu negara menekan pasar untuk mengikuti harga yang diputuskan negara tersebut. Tapi, kalau kekuatan cadangan beras yang dimiliki negara “tanggung”, maka tidak akan membuat pelaku pasar menjadikan kebijakan HET itu menjadi acuan. Berapa besar cadangan beras yang harus dimiliki negara tersebut? Kita boleh merujuk ke Cina. Negara tersebut diperkirakan secara konsisten menyimpan cadangan pangan penting lebih dari 70 persen dari total kebutuhannya per tahun (Wiggins and Keats, 2012).

HET akan menjadi macan kertas kalau tidak didukung dengan kekuatan cadangan beras yang prima. Menjadikan harga beras sesuai HET bukan dengan cara mengejar dan memaksa pelaku pasar untuk menjual dengan harga sebesar HET. Kalau cara seperti ini kita lakukan, yang terjadi adalah pasar shock, para pelaku pasar malah takut berdagang yang berdampak terjadi kelangkaan beras.

Kalau ada HET tapi kenyataannya harga tersebut tidak bisa ditemukan di pasar, itu menunjukkan negara posisinya lemah terhadap pasar. Mengapa negara bisa tidak bisa mengendalikan kekuatan pasar? Karena negara tidak memiliki cadangan beras yang memadai untuk mencegah kelangkaan di pasar. Mengapa ini bisa terjadi? Hal ini karena serapan beras oleh lembaga logistik negara untuk kepentingan cadangan tidak memadai.

Seharusnya untuk kepentingan logistik stabilisasi harga, jumlah cadangan beras yang ada di gudang-gudang Bulog seluruh Indonesia adalah dalam jumlah yang mampu membuat para pelaku pasar takluk ketika negara sudah turun tangan menggelontorkan cadangan beras dari gudang-gudang Bulog ke pasar. Bagaimana kalau ternyata Bulog tidak mampu menyerap beras domestik karena beragam kendala? Ya, mau tidak mau negara harus impor untuk kepentingan cadangan logistik ini. Dan, agar tidak mengganggu harga di tingkat petani, maka impor dilakukan dua bulan sebelum panen raya tiba.

Maka, di sini kita bisa memahami mengapa pemerintah hari ini harus impor sekitar 2 juta ton beras untuk kepentingan stabilisasi harga pangan strategis ini. Karena, kekuatan intervensi negara dalam stabilisasi harga beras bukan terletak pada stok beras yang ada di pedagang dan masyarakat. Stok beras tersebut tidak bisa digunakan untuk operasi pasar. Yang bisa digunakan dalam operasi pasar adalah beras yang dimiliki pemerintah yang ada di gudang-gudang Bulog. Antisipasi kemarau dan gagal panen sementara panen raya belum berlangsung menjadikan logis keputusan impor beras 2 juta ton tersebut di atas kertas.

Tapi, yang perlu kita ingatkan, ada dua catatan penting yang harus niscaya hadir dari kebijakan impor beras ini. Pertama, bahwa kebijakan itu harus terealisasi di dunia nyata; bahwa, dengan impor yang sebesar itu pemerintah memang benar-benar bernas menghadirkan harga beras sesuai HET (Rp 9.450 per kilogram). Kedua, pemerintah harus benar-benar menjamin harga gabah petani ketika panen raya nanti, karena masuknya beras impor pasti akan menekan harga gabah di tingkat petani.

Kita mengingatkan lagi bahwa kebijakan impor sebagai kebijakan publik harus menguntungkann stakeholder pangan terbesar Indonesia, yakni masyarakat konsumen dan petani padi. Jika kedua stakeholder ini tidak menikmati dampak kebijakan berupa harga HET di tingkap konsumen, dan harga gabah yang di atas HPP ketika panen raya, maka sesungguhnya kebijakan ini mengalami distorsi fungsinya sebagai kebijakan publik.

Karena, kalau masyarakat konsumen dan petani padi tidak menikmati output dari kebijakan impor beras ini, maka publik layak mencurigai telah terjadi malpraktik kebijakan publik. Bahwa, yang terjadi sesungguhnya impor beras ini diambil bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan berburu rente.

Seperti yang disinyalir oleh Rizal Ramli, Kepala Bulog era Presiden Gus Dur, bahwa komisi dari impor beras cukup menggiurkan. Yakni, sebesar 20-30 dolar AS per ton, atau 40–60 juta dolar AS untuk total 2 juta ton beras yang disepakati pemerintah untuk diimpor saat ini. Suatu angka yang sangat aduhai dengan kurs 1 dolar AS yang setara Rp 14.668 saat ini. KPK harus ikut memantau untuk mencegah terjadinya malpraktik kebijakan impor beras ini. (*)

*Dr. Andi Irawan, Dosen Lektor Kepala Program Pascasarjana S2 Agribisnis Universitas Bengkulu.