Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ini Masjid Pangeran Natakusuma Karya Panembahan Sumolo


Sumenep, Rumah Baca Orid

Dalam bunyi wasiat Panembahan Sumolo alias Panembahan Notokusumo, masjid yang didirikan tepat di sebelah barat alun-alun Kota Sumenep ini disebut dengan nama Masjid Pangeran Natakusuma. Masjid tersebut didirikan pada tahun ba’, yaitu tahun 1200 Hijriah, di atas tanah waqaf sang Nata.

Dalam poin kedua wasiat tersebut, masjid selesai dibangun pada bulan Ramadlan tahun za’, di tahun 1206 Hijriah. Namun sekitar enam tahun setelahnya, Panembahan Sumolo dicatat kembali memperbaiki atau menyempurnakan bangunan masjid, tepatnya pada tahun 1724 tahun Jawa atau 1212 Hijriah.
Pembangunan masjid menjadi satu paket dengan pembangunan keraton tempat istirahat raja di Pajagalan. Pembangunan ini juga menjadi awal sejarah pembentukan nadir waqaf Panembahan Sumolo hingga detik ini.

Nadir waqaf yang pertama ialah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, putra sekaligus pengganti Panembahan Sumolo. Nadir selanjutnya berdasarkan garis trah sesuai urutan yang menjabat sebagai adipati, lalu setelah masa keraton berakhir, nadir ditunjuk berdasar musyawarah dan tetap diambil dari keluarga keturunan Panembahan Sumolo.

Secara filosofi, pembangunan keraton dengan alun-alun dan sekaligus Masjid Jami’ di sebelah baratnya, mengandung sarat makna. Menurut para sesepuh, alun-alun kota Sumenep (sekarang Taman Adipura) berbentuk lafzhul jalaalah; Allahu, jika dilihat dari atas.

“Lafazh itu jika diurai memiliki makna khusus. Mulai dari huruf alif yang sejatinya merupakan jalan pasar 17 Agustus (di sebelah utara alun-alun), yang dipisahkan oleh saluran air. Huruf lam pertama ialah alun-alun bagian utara, dan lam kedua terletak di alun-alun bagian selatan. Sedang huruf ha’ ialah tangsi (sekarang markas Kodim),” kata Raden Bagus Nurul Hidayat, salah satu pemerhati budaya dari kalangan muda.

Nurul menambahkan, dilihat posisi alun-alun yang berada di antara keraton dan masjid melambangkan hubungan vertikal (hamblumminallah), dan horizontal (hablumminannas). Makna vertikal itu didapat dari posisi alun-alun yang menghadap ke arah barat (masjid), dan makna horizontal terlihat dari posisi keraton yang berada di sebelah timurnya. Sedangkan alun-alunnya sendiri melambangkan hubungan manusia dengan alam semesta, karena secara harfiah alun-alun bermakna tempat berkumpul segenap lapisan manusia, sedangkan di bagian utara dan selatan terdapat pohon beringin yang berasal dari bahasa arab wara’in (artinya kurang lebih orang yang berhati-hati) selaku simbol alam.

“Maknanya kurang lebih seruan kepada segenap yang berkumpul di alun-alun agar senantiasa berhati-hati memelihara dirinya sekaligus turut bersama menjaga undang-undang dan peraturan,” tambahnya.

Sementara masjid Agung yang untuk memasukinya harus melalui pintu gapura (asal kata dari ghafura) mengandung do’a agar yang setiap yang masuk ke sana diberi ampunan oleh Allah. Di halaman masjid pun ada pohon sabu (sawo dalam bahasa Indonesia) dan pohon tanjung. Pohon Sabu dianggap penyatuan dari dua kata yakni sa dan bu. Sa merupakan singkatan dari salat, sedangkan bu singkatan dari jha’ bu-ambu (jangan berhenti). Sedangkan Pohon Tanjung dianggap penyatuan dari dua kata yakni tan dan jhung. Tan merupakan singkatan dari tandha (tanda), sedangkan jhung singkatan dari ajhunjhung (menjunjung). Sementara masjid sendiri merupakan pusat kegiatan ad-din (agama), sehingga makna semua itu ialah shalat jangan berhenti, sebagai tanda menjunjung agama Allah. (*)

*R B M Farhan Muzammily. (artikel ini di muat di MataMaduraNews), diterbitkan ulang untuk tujuan pendidikan.