Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Privatisasi Agama


PRIVATISASI
Agama: Globalisasi Gaya Hidup dan Komodifikasi Agama di Indonesia. Begitulah Prof. Dr. Irwan Adullah menuliskan sub judul dalam buku ‘Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan’ yang dia terbitkan tahun 2007 silam.

Dalam uraian bukunya itu, dia menyebut globalisasi sebagai peruntuh totalitas kesatuan nilai dari kepercayaan. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri secara mandiri dengan kebebasan-kebebasan berekspresi. Globalisasi, menurutnya telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal, salah satunya adalah praktek keagamaan.

Praktek itu dapat dilihat pada pernyataan para ahli terhadap ‘privatisasi agama’ yang hal itu menunjukkan proses individualisasi dalam penghayatan dan praktek keagamaan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mike Featherstone (1990) dalam bukunya, yang mengungkapkan tiga tanda pergeseran masyarakat masa kini, yakni dengan dominannya nilai simbolis barang, proses estetisasi kehidupan dan melemahnya sistem referensi tradisional.

Faktor yang paling tampak dalam kasus di atas adalah naik haji. Bagi masyarakat masa kini, naik haji bukan lagi sebagai perjalanan spiritual atau sakral semata, tetapi telah pula menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka identifikasi diri yang disebut Friedman sebagai bentuk ‘cultural strategy of self-definition’.

Dengan demikian, agama seperti barang-barang seni yang telah diambil alih oleh pasar untuk dikelola sedemikian rupa. Hal ini sekali lagi menegaskan jika bukan hanya hari-hari besar keagamaan saja yang digunakan sebagai kesempatan untuk mendistribusikan barang secara besar-besaran, tetapi kaum muslim telah dibentuk untuk menjadi konsumen pakaian, alat solat, buku-buku agama, lembaga pendidikan dan surat kabar. Keislaman pun kini telah diciptakan oleh pasar sebagai kategori dan aksesoris seperti yang diinginkan.

Haji plus adalah praktek haji yang paling jelas berbeda dari praktek haji secara umumnya. Hal itu terjadi akibat adanya intervensi pasar yang menjadikan privatisasi agama menjadi sebuah produk bisnis paling menggiurkan. Selain haji plus, bisnis umroh juga menjadi praktek bisnis paling banyak menghasilkan uang dalam beberapa tahun belakangan ini. Selain itu, wisata religius turut menjadi produk alternatif dalam industri pariwisata yang juga tentu dikonversi oleh pasar.

Kecendrungan masyarakat masa kini seperti contoh di atas itulah yang disebut Boudrillard sebagai proses komodifikasi kehidupan sehari-hari yang melibatkan manipulasi tanda, sehingga yang dikonsumsi bukan lagi obyek, tapi sistem obyek. Hal ini berkaitan dengan seluruh proses dan aksesoris yang melekat sebagai instrumen keberagamaan, dan bukan lagi sebagai substansi agama itu sendiri.

Beberapa hari lalu misalnya, detik.com melansir penyelenggara haji khusus yang diduga malanggar aturan. Dengan setoran Rp 137 juta per orang itu, sumber detik.com menyebutkan jika pelayanan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) kurang memuaskan dan tidak sesuai aturan. Namun hingga saat ini, dugaan pelanggaran itu masih diselidiki oleh pengawas PIHK dan klarifikasinya belum disampaikan ke publik.

Sebelumnya, kasus-kasus penyelenggaraan ibadah haji dan umroh telah menyeruak di tanah air. Berawal dari kasus Firs Travel yang gagal memberangkatkan ratusan jemaah umrah karena manajemennya tersangkut kasus penipuan, semakin menegaskan pernyataan privatisasi agama yang diulas Prof. Irwan Abdullah di atas.

Jadi, pasar telah melakukan intervensi terhadap sistem keagamaan masyarakat masa kini. Dengan berbekal obyek, substansi telah menjadi bisnis paling menjanjikan di era modern ini. Hal itu kembali ditegaskan dengan banyaknya agen travel haji khusus maupun agen travel umrah yang menawarkan berbagai macam paket ibadah spiritual.

Hal di atas adalah sebuah fakta yang tak bisa disembunyikan. Kini, tergantung bagaimana masyarakat menyikapinya. Apakah akan tunduk pada pasar dengan berbagai penawaran uniknya ataukah masyarakat akan kembali mengejar substansi dari keberagamaan itu sendiri.

Sebab, mengacu pada pernyataan di atas, semua itu adalah pengaruh globalisasi yang meluluhlantakan berbagai budaya dan aturan serta kebudayaan yang ada. Dengan demikian, maka kutalah yang menentukan, tunduk pada pasar atau kembali kepada substansi. (*)

*Ahmad Fairozi, pendiri sekaligus Ketua Pengurus Harian Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).