Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku dan Pelajaran tentang Memiliki


FOTO
kecil di Harian Solopos, 18 September 2018 menyapa tentang buku, anak, dan menulis. Para murid SD Ta’mirul Islam Solo tengah menunjukkan buku himpunan cerita berjudul Pohon Coricta dan Ellasia (2018) yang mereka tulis sebagai salah satu seri “Islam santun” bersama Program Pendampingan Masyarakat Dosen dan Fakultas Bisnis Islam (FEBI) IAIN Surakarta dan Bilik Literasi beberapa waktu lalu.

Ada 20-an anak ikut menulis. Saya membayangkan pagi itu, para penulis cilik heboh menyaksikan tulisan mereka terhimpun dan tercetak dalam buku manis 70 halaman. Anak-anak yang tidak ikut menulis tetap merayakan dengan menjadi pembaca dan pemilik buku.

Tepat di momentum hari jadi ke-50 SD Ta’mirul Islam Solo, ada anak-anak yang semakin bergairah memiliki buku. Memiliki buku bersama yang mendokumentasikan nama diri dan teman-teman.

Pernahkah kita mengingat perasaan pertama saat memiliki buku bacaan imajinatif, bukan buku tulis atau buku pelajaran yang mengejutkan tapi diam-diam menyisipkan beban? Buku bacaan pertama nan apik mungkin tidak sengaja kita temukan di kios buku bekas. Buku bisa juga menghuni lemari benda-benda di rumah selama sekian tahun mendekam. Atau, demi ingin memiliki banget, buku pinjaman dari perpustakaan dipaksa menjadi milik sendiri karena merasa tidak ingin terputus dari cerita daripada buku kesepian kembali ke perpustakaan.

Kita juga mungkin sempat getol menabung untuk buku bacaan paling diinginkan, mengingat orangtua lebih bisa membelikan buku-buku pelajaran sekolah. Buku pertama itu juga bisa mewujud dalam suara magis orangtua, atau orang lain, yang membacakan saat mata kanak kita belum mengerti rangkaian huruf-huruf yang berpijar.

Mengingat kembali majalah anak Bobo, terutama pada tahun 80-an, tampak kegetolan iklan bacaan. Anak-anak Indonesia diajak memiliki buku dari penulis dalam dan luar negeri dari aneka seri dan tema. Iklan buku memiliki peristiwa lanjutan yang cukup menantang, tidak hanya soal membaca tapi juga memiliki (membeli). Di Bobo edisi 3 November 1984 misalnya, sehalaman menampilkan “Kuis Baca Buku ke-15”, diperuntukkan bagi pembaca kanak dan remaja pecinta buku Gramedia. Penerbit tersebut memang menjadi penerbit besar yang mendominasi pasokan buku anak. Buku yang dikuiskan adalah Semester Pertama di Malory Towers garapan Enid Blyton.

Untuk menjawab dua pertanyaan yang diajukan, salah satu syarat merujuk pada kepemilikan buku yang dibuktikan dengan melampirkan bon pembelian dengan judul apa pun asalkan Penerbit Gramedia. “Surat jawaban yang tidak dilampiri bon dianggap tidak sah,” begitulah penyelenggara kuis ingin memastikan bahwa pengikut kuis memang pembaca yang memiliki buku, bukan pembaca-peminjam saja.

Membaca buku sampai tuntas saja tidak cukup untuk turut meramaikan kuis pembaca. Dalam kasus perlombaan semacam itu, memiliki memang menjadi persoalan teknis. Di luar itu, yang tidak kentara, buku sebagai kepemilikan penuh emosi ditempatkan di rak terbaik dalam kamar, atau sayang untuk dipinjamkan karena takut rusak dan hilang. Apalagi, kalau buku itu didapatkan dengan perjuangan yang tidak mudah. Hal ini pasti teralami oleh para pembaca-pemilik belia.

Pemilik Imajinasi

Dari cerita pengarang legendaris Roald Dahl berjudul Matilda -peraih Children’s Book Award pada 1988- yang edisi terjemahan Bahasa Indonesianya baru-baru ini dicetak ulang, kita dipertemukan dengan bocah perempuan berusia 4 tahun yang menggandrungi buku tapi sering gagal memiliki secara harfiah. Roald Dahl memilih usia dini untuk waktu membaca bagi Matilda yang dikaitkan dengan kejeniusan seorang anak. Kita dibuat percaya dan takjub pada anak-anak sebagai penyadap-pembelajar bahasa.

Meski Matilda berada di Inggris, pola asuh keluarga Matilda memiliki kesamaan dengan keluarga Indonesia. Orangtua Matilda lebih suka anaknya memiliki waktu-waktu di depan televisi daripada menekuni buku. Memiliki televisi bagi sebuah keluarga lebih fungsional daripada memiliki sebuah buku.

Ketika Matilda mencoba meminta buku dan ditolak, ia mulai berjalan ke perpustakaan umum. Matilda bisa membaca semua buku bergambar yang diinginkan, bertemu Mrs. Phelps sang perekomendasi banyak buku, meminjam buku-buku lain yang berhuruf lebih banyak, dan merasa mendapat perlindungan dibanding dari keluarga yang sering mengabaikan.

Roald Dahl bercerita, “Rasanya menyenangkan bisa membawa minuman panas ke kamar dan meletakkannya di samping, sementara dia duduk dalam ruangannya yang sunyi, membaca di ruang kosong, sepanjang sore. Buku-buku mengantarkannya ke dunia-dunia baru dan memperkenalkannya kepada orang-orang mengagumkan yang menjalani kehidupan yang sangat menarik. Dia naik kapal selama berhari-hari bersama Joseph Conrad. Dia pergi ke Afrika bersama Ernest Hemingway dan ke India bersama Rudyard Kipling. Dia bertualang ke seluruh dunia, sambil duduk di kamar sempitnya, di sebuah desa di Inggris.”

Secara teknis, Matilda memang hanya pembaca-peminjam. Dia tidak memiliki satu buku pun sebagai koleksi. Namun, ia yang paling berhak memiliki imajinasi dan pelanglangan yang ditawarkan oleh buku. Matilda meminjam untuk memiliki.

Kisah lebih heroik dan kocak soal memiliki buku ditulis oleh V.S. Naipaul (meninggl 11 Agustus 2018 lalu) dalam novel Tabib Sakti (edisi terjemahan Indonesia terbit 2017). Bagi kita, barangkali tidak terbayangkan ada seorang di negara bernama Trinidad memiliki bejibun buku. Bukan Amerika, Prancis, Inggris, atau negara-negara Barat lain yang sering menjadi kiblat kepemilikan buku nan fantastis. Ganesh, sang tokoh pemilik buku, sempat terpelajar karena mengenyam pendidikan di Queen’s Royal College, tapi tetap harus berhadapan dengan kekolotan tradisi. Kegagalan hidup, bahkan menjadi tukang pijit seperti bapaknya, justru membuat Ganesh mencintai buku.

Buku membuatnya bertengkar dengan istri, sekalipun perempuan itu juga tidak bisa menolak ketakjuban dari sekadar melihat tumpukan yang menawan. Ganesh terpukau pada imajinasi Amerika tentang penerbitan buku. Dalam satu kejadian, ratusan buku sempat terpesan dan buku-buku lain selalu dibeli secara rutin. Diceritakan, “Ia hanya membeli tiga ratus judul dan Kantor Pos mengirimnya dengan mobil van pada suatu sore. Itu salah satu peristiwa terbesar yang pernah terjadi di Fuente Grove, dan bahkan Leela pun terkesan, meski ragu.”

Buku jugalah yang mengantarkan Ganesh menjadi tabib sakti terpercaya bagi jiwa-jiwa orang-orang sekitar yang turut merasakan aura magis kesembuhan tanpa perlu membaca.

Ada rasa kebanggaan, kebahagiaan, ketakjuban dalam meraih milik. Namun, keinginan memiliki secara ragawi melibatkan segala bentuk emosi yang sering mengantarkan pada kekecewaan-kekecewaan tidak terduga. Untuk sebuah buku, sejak belia kita sulit –atau mungkin memang tak pernah– diajarkan memiliki seperti memiliki benda lain –buku tulis, alat tulis, sepatu, mainan, makanan. Sementara, perpustakaan mengajari meminjam selama masa wajib belajar dan tidak mengurus lebih lanjut apakah kita masih akan meminjam atau bertindak memiliki setelahnya. Bahkan untuk kepemilikan yang bersifat psikologis, seperti memiliki rumah sebagai ruang kepulangan –bukan semata tempat (fisik). Hanya bagi orang-orang tertentu, buku sampai pada wilayah itu.

Memiliki buku memang jalan yang tidak mudah. Terkadang, kita mesti tega menjahati diri dengan alasan-alasan manusiawi yang mengantar pada rasa pasrah “tidak harus memiliki”. Tapi, kita masih bisa memiliki dalam (bentuk) imajinasi. (*)

*Setyaningsih, esais, pengajar ekstrakurikuler menulis di SD Al-Islam 2 Jamsaren Solo, penulis buku Bermula Buku, Berakhir Telepon (2016).