Hitam dan Putih
PUBLIK Indonesia baru-baru ini diramaikan oleh simbol hitam dan putih. Ya, kalimat taudih yang dibubuhkan pada bendera dan di bakar Banser di acara peringatan hari santri nasional (HSN) di Garut, Jawa Barat, menjadi viral di media sosial. Ada yang menghujat, ada pula yang membela. Bahkan, atas insiden tersebut, bendera tauhid semakin banyak muncul dan menghitam-putihkan beberapa daerah di Indonesia.
Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyesali insiden pembakar itupun langsung dijadikan sebagai legitimasi atas insiden pembakaran bendera yang diduga menjadi simbol dari salah satu ormas yang telah dibubarkan pemerintah beberapa waktu lalu itu. Sebagian besar netizen menjadikan pernyataan MUI seolah-olah yang dibakar bukan bendera dan simbol, melainkan kalimat tauhid.
Mengapa hal itu viral? Kita ketahui, tahun ini rakyat Indonesia telah memasuki kampanye untuk Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dilihat dari pola persebaran video bendera berkalimat tauhid yang dibakar Banser tersebut, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Diantaranya adalah, mereka yang masih ‘sakit hati’ dengan pemerintah karena ormasnya dibubarkan dan peristiwa tersebut juga sangat dimungkinkan untuk menimbulkan perpecahan yang endingnya mengacaukan kondusifitas bernegara.
Selain soal itu, ada upaya yang secara sengaja digerakkan untuk mencari setiap kesalahan yang dilakukan oleh Banser. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi publik dan bahkan pemerintah jika ‘Banser’ layak dibubarkan. Itu adalah fakta yang berkembang dalam setiap orasi yang disampaikan dalam setiap aksi bela kalimat tauhid di berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya melalui aksi massa langsung, di berbagai media sosial juga demikian, netizen juga banyak menyerukan untuk ‘bubarkan Banser’.
Lalu kenapa mereka menuntut Banser dibubarkan? Kita ketahui bersama, pasukan non pemerintah yang sangat loyalis dan berani mengawal Ulama dan tegaknya NKRI khususnya di dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi masyarakat terbesar di dunia dengan kurang lebih 90 juta anggota adalah Banser. Artinya, Banser tidak hanya berdiri untuk membela Ulama, tapi juga berdiri kukuh untuk membela negara dari berbagai ancaman yang datang.
Masuk akal ketika Banser tidak disenangi oleh oknum-oknum yang mau merubah dasar negara. Sebab Banser selalu berdiri terdepan dalam mengawal setiap pergerakan yang memungkinkan akan memecah belah kesatuan negara Indonesia. Perlu ditegaskan bahwa pendapat ini bukan karena secara kultural penulis adalah bagian dari keluarga NU, tapi diakui atau tidak, NU selalu berkonfrontasi dengan mereka yang lantang meneriakkan perpecahan negara ini.
Penulis juga menyelasi insiden yang terjadi, namun dapat dipahami keadaan saat itu yang membutuhkan ketegasan. Sebab, pada acara upacara HSN di Garut telah ada kesepakatan berbagai ormas untuk tidak mengibarkan bendera selain sangsaka merah putih. Hal itu telah diklarifikasi oleh panitia HSN di Garut dan aturan larangan pengibaran bendera selai bendera resmi kenegaraan pun telah dipublikasi oleh panitia setempat.
Kini publik harus bersabar menanti penyelidikan polisi terkait insiden tersebut. Insiden yang terjadi semoga juga tidak terulang untuk yang keduakalinya. Sebab, kondusifitas adalah harga yang mahal. Namun demikian, Banser harus tetap teguh dalam mengawal ulama dan NKRI tanpa terprovokasi hal-hal seperti yang telah terjadi. Karena bagi saya itu adalah sebuah kejadian yang tak perlu dibesar-besarkan, dan kita pasrahkan penyelidikannya kepada penegak hukum yang ada.
Pun demikian dengan anggota ormas terlarang yang sudah dibubarkan, agar kedepan tidak memprovokasi berbagai pihak untuk membuat kegaduhan. Sebab, saya melihat kejadian di Garut telah direncanakan oleh pihak-pihak tertentu dengan ditemukannya kejadian yang sama -pengibaran bendera berkalimat tauhid- di beberapa daerah lainnya di Jawa Barat.
Polisi harus mengusut tuntas apa motif pengibaran bendera oleh oknum yang telah ditangkap dan diamankan polisi tersebut. Bagi penulis, alasan sang pengibar bendera yang telah ditangkap tidak masuk akal dan cenderung dibuat-buat ketika dia (sang oknum) menyebut pengibaran itu karena kecintaan dia terhadap bendera berkalimat tauhid itu.
Perlu juga jadi pembelajaran bersama bahwa, masyarakat juga tidak ikut terprovokasi atas kejadian itu tanpa menelusuri sumber-sumber kredibel yang mewartakan setiap kejadian tersebut. Agar tidak perlu membagikan ulang berbagai pernyataan, ujaran kebencian dan lain sebagainya tanpa ada konfirmasi langsung dari yang bersangkutan melalui siaran pers atau klarifikasi langsung dari pihak terkait.
Masyarakat sudah harus cerdas menilai, menganalisa, memilah dan memilih konten berita di media sosial agar tidak langsung menyebarkan ulang tanpa mengerti pangkal masalah yang sesungguhnya sedang terjadi. Semoga Indonesia tetap aman. (*)
*Ahmad Fairozi, Pendiri yang sekaligus Ketua Pengurus Harian Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).