Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hoaks dan Paradoks Pengetahuan


SETELAH
sebuah kasus terungkap dan terbukti hoaks, semestinya kita diserang kegamangan atas kebenaran. Hadirnya pengetahuan beserta kumpulan informasi yang ada di sekitar kita ibarat teduh pohon di tengah terik matahari yang kian panas. Hanya saja, pengandaian itu tak lagi sepenuhnya dapat kita percaya begitu saja. Pengetahuan hari ini punya ruang untuk menyelamatkan atau mungkin menyesatkan. Berkembangnya hoaks di tengah kita sepertinya menjadi sinyal kuat bagaimana kita memperlakukan informasi atau data yang tersebar.

Dari buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari, salah satu pelajaran penting yang saya dapatkan adalah betapa data menjadi sesuatu yang sangat penting. Bagi Yuval, kita akan tiba pada masa paradoks pengetahuan. Pengetahuan tidak serta merta mampu mengubah perilaku yang buruk. Tapi, pengetahuan yang mengubah perilaku mengakibatkan cepatnya pengetahuan itu kehilangan relevansinya. Bila data gagal kita pelajari dengan baik, itu bisa saja menjadi cikal bakal dari bencana pikiran yang sesat. Hoaks akan terus bertebaran selama kita tak mencari cara memahami dan merumuskan konsep yang jelas dari sebuah informasi. Semua itu tentu saja akan menjadi gudang pengalaman untuk seseorang yang belajar.

Semakin kita paham dan mengerti sebuah data atau informasi yang kita miliki, semakin baik pula kita memahami kondisi sekitar kita. Contohnya saja, negara A dan B adalah langganan bencana alam, tapi negara A mempelajari data dan melihat kemungkinan-kemungkinan. Sedangkan, negara B hanya terfokus pada titik masalah dan tak mempelajari masa silam. Hingga, pada akhirnya pengalaman akan membuktikan bahwa ada yang belajar dan ada pula pihak yang senang mengabaikan.

Sejarah memperlihatkan bahwa suatu bangsa yang besar senantiasa didukung dengan riset atau data yang mumpuni dalam membangun bangsanya sendiri. Bahkan tak tanggung-tanggung, sebuah bangsa siap menggelontorkan dana yang besar untuk menghasilkan atau menemukan data yang akurat. Mereka bergerak dengan kepercayaan bahwa dengan data mereka mampu meningkatkan prestasi. Bentuk komitmen mereka dapat kita lihat dari rasio pengeluaran penelitian dan pengembangan terhadap PDB, atau Gross Expenditur on R&D (GERD). Berdasarkan data pada 2013, negara yang menduduki posisi tertinggi ada pada Korea Selatan (4,1 persen), Jepang (3,5 persen), dan Finlandia (3,3 persen). Di tingkat ASEAN, GERD per PDB tertinggi diraih oleh Singapura (2,0 persen). Indonesia masih jauh tertinggal, hanya ada pada 0,085 persen.

Celakanya di Indonesia data atau sebuah informasi yang deras tidak dibarengi dengan kemampuan memahami. Hasilnya terbuka peluang besar terciptanya ketidakharmonisan antarsesama. Hanya bangsa yang mencintai data yang berhasil menciptakan pengetahuan. Dan, dengan pengetahuan yang mumpuni, sebuah bangsa akan berjaya. Ini tergambar jelas pada masa berkembangnya pengetahuan dan kebudayaan di Yunani. Para pemikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thales, dan masih banyak lainnya lahir dari proses pengumpulan data dari berbagai hal yang ada di semesta. Selepas kejayaan di Yunani, beberapa abad kemudian kita pun dapat belajar dari sebuah kebangkitan baru di Italia dan ditandai sebagai masa Renaisans.

Pada masa Renaisans, data menjadi sangat mempengaruhi kehidupan intelektual Eropa pada masa periode modern awal. Bermula di Italia kemudian berkembang ke seluruh Eropa di abad ke-16, pengaruh Renaisans pada akhirnya dirasakan dalam sastra, filsafat, seni, musik, politik, ilmu pengetahuan, agama, dan aspek lain di bidang intelektual. Di masa itu pula, lahirlah sejumlah tokoh yang namanya sampai hari ini kita kenang, seperti Leonardo Da Vinci, Donatello, Galileo Galilei, Johan Gutenberg, dan lain-lain.

Salah satu langkah yang paling menonjol pada masa berkembangnya suatu peradaban adalah keberhasilan mengumpulkan data serta sumber-sumber pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Mereka belajar untuk menguji berbagai data hingga menemukan atau mendekati kebenaran. Langkah itu tentu saja menjadi sesuatu yang sangat berharga. Lalu, bagaimana dengan bangsa Indonesia dan peradabannya di masa depan?

Pada 2017, Kemenkominfo merilis temuan bahwa terdapat 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai sumber hoaks. Makin mendekatnya pilpres, berita hoaks dengan mudahnya tersebar di berbagai media sosial. Sialnya, dari tahun ke tahun terlihat tidak ada usaha untuk menyelamatkan diri dari berita kebohongan. Yang ada hanyalah kita terus dikelilingi berbagai berita tanpa data akurat dan sumber yang jelas.

Peningkatan kemampuan memahami data bisa saja terjadi karena berbagai hal. Seperti, masih kurangnya sosialisasi atau ruang belajar untuk mengenali langkah tersebut. Belum adanya proses transfer ilmu dalam merancang strategi terkait aplikasi penggunaan data di masyarakat umum. Seperti halnya penggunaan data di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.

Bangsa kita pun membutuhkan lebih banyak peneliti guna menghidupkan kondisi yang bersahabat dengan penemuan dan pengetahuan. Dibanding beberapa negara lainnya, jumlah peneliti kita terbilang sedikit. Belajar dari bangsa lain, jumlah peneliti Brasil mencapai 700 orang per 1 juta penduduk. Rusia 3000 peneliti per 1 juta penduduk, India 160 peneliti per 1 juta penduduk, Korea 5.900 peneliti per 1 juta penduduk, dan China 1020 peneliti per 1 juta penduduk. Sedangkan, Indonesia masih berada pada kisaran 90 peneliti per 1 juta penduduk.

Bila kembali belajar pada masa Renaisans, kita perlu menumbuhkan Humanisme Renaisans yang dikenal pada pemusatannya terhadap individualisme. Individualisme yang menganggap bahwa manusia sebagai pribadi perlu diperhatikan dan dikembangkan. Tidak hanya terjebak pada paradoks pengetahuan, di mana data terpampang luas namun tak bisa kita gunakan dan manfaatkan sebaik mungkin.

Salah satu jalan panjang yang ditempuh manusia menuju masa depan adalah pencarian atas kebahagiaan. Dan, sekali lagi bahwa data adalah jalan menuju kesiapan untuk membuka masa depan. Dengan data itulah, manusia akan terus bernalar memahami lingkungan sekitarnya dan menentukan langkah tepat dan bijak bagi dirinya dan orang lain. Hingga, pada akhirnya tercapai apa yang dicita-citakan orang-orang Yunani Kuno dulu, yakni eudaimonia (kebahagiaan hidup). (*)

*Wawan Kurniawan, bergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan aktif meneliti di Ikatan Psikologi Sosial (IPS) Indonesia.


Sumber: detik.com