Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BEM FISIB UTM Gelar Bincang Literasi


Bangkalan, Rumah Baca Orid

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menggelar bincang literasi dengan tema “Tumbuh Dari Sudut Paling Dekat” di gedung Pascasarjana, Kamis, 8 November 2018.

Hadir sebagai pemateri dalam kesempatan tersebut, Medhy Aginta Hidayat, S.S., M.Si dosen sosiologi UTM dan Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).

Menurut Ahmad Fairozi, literasi adalah kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, dan memecahkan masalah di masyarakat.

Mengapa literasi menjadi penting? Lebih lanjut Fairozi menjabarkan, minat baca masyarakat Indonesia ada di peringkat 60 dari 61 negara di dunia.

“Rata-rata orang Indonesia membaca buku 3-4 kali per minggu dengan durasi membaca rata-rata 30-59 menit per hari dengan jumlah buku yang dibaca hingga selesai berjumlah 5-9 buku per tahun. Itu adalah survei perpusnas di tahun 2017,” paparnya.

Fairozi menjelaskan, setidaknya ada dua alasan kenapa dia bersama teman-temannya mendirikan Rumah Baca ID. Pertama karena kegelisahan dan kedua karena dukungan.

“Kenapa saya gelisah? Beberapa faktor menjadi alasannya, diantaranya masih tingginya angka buta huruf, lingkungan yang seakan jauh dari pengetahuan dan pendidikan yang rendah,” terangnya.

Dilanjutkan Fairozi, di Bangkalan ada sebanyak 76 ribu orang buta huruf, di Samapang ada 82 ribu orang buta huruf, di Pamekasan ada 18 ribu orang buta huruf dan di Sumenep ada 53 ribu orang masih buta huruf.

“Ini fakta, menurut sumber yang saya baca di internet demikian yang bersumber dari dindik masing-masing tempat,” ujarnya.

Sementara Menurut Medhy Hidayat, literasi adalah kecapakan dalam membaca dan menulis. Lebih lanjut, Medhy mengungkapkan jika saat ini, mahasiswa yang gemar membaca semakin sulit. Hal itu, menurutnya, terjadi lantaran semakin mudahnya mahasiswa dalam mengakses teknologi.

“Di Jepang dan Amerika Serikat, pemerintah mendorong anak-anak didik untuk suka membaca dan menulis. Bahkan, di AS, ada kewajiban sebelum lulus SMA, siswa harus menuntaskan setidaknya 2 buku karya sastra untuk dibaca,” ujarnya.

Bagaimana di Indonesia? Menurutnya, di Indonesia kini tidak ada paksaan untuk membaca buku. Hal itu, lanjutnya, karena dipengaruhi oleh political will (basis keyakinan) publik terhadap pemerintah.

“Artinya, kemauan politik pemerintah tidak ada dorongan bagi masyarakat untuk membaca buku,” tegasnya.

Setelah masing-masing pemateri yang hadir selesai menyampaikan pandangannya, moderator membuka pertanyaan bagi peserta yang hadir.

Isna, salah seorang mahasiswi prodi ilmu komunikasi menanyakan, bagaimana cara mengatasi kejenuhan membaca buku teori dan pelajaran mata kuliah? Menurut Medhy Hidayat, hal itu bisa disiasati dengan membaca buku penunjang yang berkaitan dengan bidang studi.

“Coba dimulai dengan membaca buku yang berkaitan dengan bidang studi yang digeluti,” jawabnya.

Sementara Anwar, peserta lainnya menanyakan, bagaimana cara agar bisa konsisten berhadapan dengan masyarakat? Pertanyaan yang ditujukan kepada Ahmad Fairozi tersebut dijawab dengan menjelaskan apa sebenarnya latar belakkang yang ingin dilakukan ketika mahasiswa turun ke masyarakat.

Menurutnya, berhadapan dengan masyarakat memang selalu ada konsekuensi dan hambatan yang bisa datang kapan saja. “Nah, cobalah dengan mengingat kembali apa sebenarnya latar belakang kita melakukan pengabdian kepada masyarakat? Tentu penuh cobaan dan hambatan. Maka kita harus memotivasi diri kita untuk kuat menghadapi hal itu. Karena itu adalah keinginan kita melakukan pengabdian,” katanya.

Febri, peserta lainnya bertanya bagaimana cara meningkatkan literasi dan menangkal hoaks? Dilanjutkan Fairozi, menurutnya, komitmen adalah hal utama yang harus ditanamkan kepada diri kita. “Namanya komitment, ya harus kita lakukan sebaik mungkin. Dengan selalu mengingat apa sebenarnya yang ingin kita berikan kepada masyarakat dan lingkungan kita berada,” jelasnya.

“Terkait hoaks, sebagai seorang yang berpendidikan, tugas kita adalah dengan mengedukasi masyarakat untuk selalu berhati-hati menghadapi berbgai informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya,” tukasnya.

Lalu peserta terakhir yang bertanya, Zainal Arifin meminta tips agar bisa membaca buku materi dengan berbahasa inggris? Dijelaskan Medhy Hidayat, adalah dengan membacanya secara berulang-ulang. “Ini memang sulit, tapi membaca berulang-ulang dengan dibantu kamus, itu akan sedikit membantu. Lama-kelamaan, kita akan mengerti,” pintanya.

Untuk diketahui, acara bincang literasi dengan tema “Tumbuh Dari Sudut Paling Dekat” merupakan program BEM FISIB UTM untuk menguatkan pemahaman mahasiswa terhadap arti dan fungsi literasi serta berbagi pengalaman Rumah Baca ID untuk para relawan Gardu Buku yang dirintis BEM FISIB di timur kampus UTM. (fatony)