Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembicaraan


Ada seorang sahabat mengeluhkan sulitnya membuat Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kabupaten Sumenep, Madura, kepada saya. Menurutnya, hanya orang yang terlatih yang bisa lulus menuntaskan tes yang diberikan hingga selesai. Artinya, kemungkinan lulus bagi dia adalah hal yang nihil dan sia-sia.

Dengan raut muka yang sepertinya agak kesal, dia menceritakan tahap demi tahap. Mulai dari pendaftaran, mengisi berkas, menyetorkan berkas belum tampak ada raut wajah yang mengesalkan. Semuanya berjalan lancar dan tidak ada masalah.

Memasuki tes pertama yang menurutnya adalah pemahaman tentang rambu-rambu lalu lintas menggunakan komputer juga tampak tak ada masalah. Bahkan dengan pede dia menyebut angka skor tes tersebut lumayan tinggi. “Tes pengetahuan tentang rambu lalu lintas gampang, tidak ada masalah. Nilaiku juga baik,” ungkapnya.

Kekesalan itu baru terlihat setelah dia beranjak pada tes mengendarai motor dengan jalan yang penuh lika-liku. Mungkin gemetar dan tak terbiasa, atau boleh jadi tegang adalah petaka kegagalan dia dalam mengikuti tes tersebut.

Dia bahkan menceritakan dengan penuh keyakinan, bahwa siapapun yang mengikuti tes tersebut jika tidak terlalit, maka sudah tentu pasti akan gagal. “Tes berkendara dengan jalan yang lika-liku ini sangat sulit. Tidak akan ada yang akan lulus tes ini, kecuali dia terlatih,” sebutnya, meyakini.

Sebenarnya, keluh-kesah tentang layanan pembuatan SIM ini sudah lama terjadi. Sejak zaman dulu hingga saat ini pun, warga di semua daerah banyak yang mengeluhkan sulitnya mengikuti tes pembuatan SIM. Dengan akal yang sudah putus asa, merekapun tidak lagi berkeinginan untuk membuat SIM seperti yang disarankan. Mereka akan memilih jalan pintas dengan “berani” bayar untuk mendapatkan SIM agar terhindar dari sanksi petugas saat berkendara di jalanan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2016 lalu menyebutkan, pembiaran terhadap pelayanan pembuatan SIM di Polresta Depok, Jawa Barat, yang dikeluhkan warga berpontensi menciptakan calo-calo. Itu pula yang menjadi kesempatan yang dimanfaatkan oknum Polisi untuk menjadi perantara pengurusan SIM dengan car pintas. Dampaknya, terjadi pematokan harga pengurusan administrasi berkendara yang tinggi kepada masyarakat untuk mendulang pundi-pundi rupiah yang apabila tidak segera ditindak, dikawatirkan akan tumbuh subur menjadi budaya.

“Tidak dibereskannya masalah pelayanan pembuatan SIM di Satlantas Polresta Depok itu bukanlah hal yang baru lagi di telinga masyarakat. Sebab, keuntungan dari uang pengurusan SIM itu akan menambah uang kantong para oknum Polisi nakal yang bertugas. Sehingga, personel penegak hukum ini dapat dengan mudah mendekati para pengurus SIM agar cepat mendapatkan surat berkendara tanpa mengikuti tes sama sekali. Kami melihat di sini telah terjadi unsur pembiaran, sehingga para oknum Polisi nakal itu dapat bermain di ranah SIM. Potensinya orang dalam nyambi menjadi calo tidak dapat dipungkiri lagi, hasilnya dapat dibagi dua dan masuk ke kantong pribadi,” ujar Divisi Investigasi ICW Febri Hendri seperti dilansir rri.co.id, Rabu, 1 Juni 2016 lalu.

Rupanya, kejadian yang serupa dengan apa yang menimpa sahabat saya itu juga terjadi kepada Fajar (25), salah seorang warga asal Halim, Jakarta Timur mengatakan, dirinya sudah tiga kali melakukan tes teori untuk memperoleh SIM C, namun belum lulus juga. Padahal menurutnya, soal-soal yang diberikan dalam tes tersebut tidak terlalu sulit dan sejak pertama kali tes soalnya tidak pernah berubah. Waktu tes pertama nilainya 14, terus kemarin 15, dan sekarang 17. “Padahal saya ngisinya sama saja, soal-soalnya juga lumayan mudah, tetapi tetap tidak lulus,” kata Fajar seperti dilansir menpan.go.id, 14 Juli 2016 lalu.

Dua contoh di atas dapat disimpulkan jika untuk mendapatkan SIM itu ternyata tidak mudah. Ada banyak kekecewaan dan rasa frustasi yang akhirnya mengarah pada kemungkinan terjadinya praktek calo. Sahabat saya yang berkeluh kesah kepada saya ini berkata, “Saya sudah malas mau buat SIM lagi. Karena pasti tidak lulus lagi. Membuang-buang waktu saya saja. Mending berjualan, dapat rezeki, daripada buat SIM yang menyita energi”. Diketahui, sahabat saya ini adalah seorang penjual berbagai bahan kebutuhan rumah tangga di toko kelontong miliknya.

Mungkin reformasi birokrasi memang sulit dilakukan. Karena memang banyak hal yang harus diperbaiki dan dirubah oleh pemerintah untuk menjadikan negara ini ramah dalam melayani, bukan negara yang doyan minta dilayani, apalagi menakut-nakuti. Semoga! (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).