Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Defisit BPJS Kesehatan


BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) telah berumur lima tahun, sejak berdiri pada 1 Januari 2014 lalu. Namun, persoalan defisit yang didera BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun semakin bengkak layaknya masalah sampah plastik yang melanda negeri ini.

Ibarat penyakit, defisit pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini kian hari kian menahun. Tengoklah, setelah defisit Rp 3,3 triliun pada tahun pertamanya, di 2014 lalu, defisitnya kian bengkak hingga menyentuh Rp 5,7 triliun pada 2015. Kemudian, menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp 9,75 triliun pada 2017.

Berdasarkan data terakhir yang didapatkan, defisit BPJS Kesehatan hingga September 2018 terhitung sebesar Rp 7,95 triliun. (Tempo.co, Selasa, 30 Oktober 2018)

Dalam rapat di DPR yang dilansir CNN Indonesia, Selasa, 18 September 2018 misalkan, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari pesertanya. Data resmi melansir jumlah peserta BPJS Kesehatan tembus 204,4 juta jiwa hingga pertengahan September ini. Nah, separuh dari jumlah itu atau sekitar 118 juta merupakan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat miskin.

Sudah barang pasti, iuran yang dibayarkan pun relatif murah meriah. Cuma Rp 25.500 per bulan. Itu pun, bukan masyarakat miskin yang harus merogoh kocek mereka sendiri, melainkan pemerintah melalui APBN atau APBD juga ikut berkontribusi.

Di sisi lain, BPJS Kesehatan menggunakan prinsip anggaran berimbang, dimana pos pengeluaran harus sama dengan pos pendapatan. Sayangnya, prinsip ini sekadar konsep di atas kertas. “Sebetulnya titik masalahnya terletak di besaran iuran saat ini yang belum sesuai dengan hitungan aktuaria,” ujar Fachmi.

Mungkinkah BPJS Kesehatan tidak lagi menggratiskan layanan 100 persen? Bisa jadi demikian. Sebab, melihat tren pembengkakan defisit anggaran yang besar, tidak ada solusi lain bagi BPJS Kesehatan untuk tidak menaikkan iuran atau membatasi layanan gratis.

Selain itu, pihak BPJS juga harus serius memberikan pengawasan dan rutin melakukan evaluasi terhadap Rumah Sakit (RS) mitra atau pasien yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan.

Mengapa demikian, jangan sampai ada markup dana perawatan, obat-obatan dan lain sebagainya karena hal tersebut gratis. Artinya, meskipun hingga saat ini hal tersebut adalah praduga, tidak ada salahnya BPJS Kesehatan melakukan evaluasi.

Apalagi, sempat diberitakan di berbagai media nasional, BPJS Kesehatan memutus beberapa kontrak kerjasama dengan beberapa RS mitra karena soal akreditasi. Hal itu memang penting, mengingat saat ini BPJS Kesehatan berada di ambang batas “kritis” yang mengkhawatirkan.

Kita tunggu apa langkah BPJS Kesehatan setelah dari sejak awal berdirinya hingga saat ini selalu defisit anggaran. (*)

*Ahmad Fairozi, Pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).