Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bobroknya Moralitas Mahasiswa Hari ini


MAHASIWA
adalah orang yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan tujuan mulianya yaitu mewujudkan cita-cita serta inginnya membahagikan orang tua. Dengan penuh semangat, mereka mendaftar di perguruan tinggi berharap bisa diterima biar bisa memperdalam ilmunya secara kelembagaan. Padahal belajar tidak harus di sana.

Setelah diterima, maka berbahagialah mereka dan sudah berhasil melewati langkah yang pertama yaitu masuk ke perguruan tinggi. Tanpa terpikirkan sebelumnya ternyata banyak sekali tantangan yang harus dihadapi di lingkungan mahasiswa, dengan hati yang ramah ditambah pikiran yang tenang mengatakan “Aku akan melewati tantangan ini”.

Selain tanggung jawab membahagiakan orang tua, mereka juga memiliki tanggung jawab besar yang sebelumnya belum pernah diketahui yaitu memberi kontribusi besar terhadap bangsa ini lewat ide cemerlangnya. Mengapa demikian? Karena sejarah mencatat mahasiswalah yang selalu memberikan perubahan terhadap realita yang begitu pahit jika dibiarkan.

Pada tanggal 21 Mei 1998 misalnya, mahasiswa terbukti berhasil menggulingkan sebuah rezim yang dianggap zolim karena banyak sekali penderitaan rakyat yang diakibatkan pada era itu. Dari kejadian itu, mahasiswa semakin tinggi nilai tawarnya sebagai agent of change, untuk melanjutkan estafet titel mahasiswa, tentu saja tidak mudah memerlukan sikap patriotis sehingga yang dipikirkan selalu kemajuan dan pantang untuk berdiam di tempat, apalagi mendiamkan kesalahan.

Kampus bukan penentu kualitas mahasiswa, tidak begitu perlu harus kuliah di kampus ternama karena yang menentukan kualitas dan militansi adalah diri sendiri yang didorong dengan keinginan yang kuat untuk benar-benar merubah diri sendiri dan keadaan. Jadi jangan bilang tak heran jika mahasiswa yang dari kampus ternama berhasil mewujudkan cita-cita dan banyak memberikan sumbangsih besar terhadap sekitarnya, karena tanpa adanya kemauan yang kuat dari diri sendiri semua itu tidak akan terjadi dari manapun kampusnya.

Artinya apa, keluarnya bahasa seperti ini agar yang sudah terlanjur masuk ke perguruan tinggi meskipun tidak begitu ternama mahasiswa tersebut tetap mananamkan dalam dirinya bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri, guna menghindari berpikir stagnan karena terlanjur masuk ke kampus yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Lalu bagaimana dengan mahasiswa hari ini?

Mahasiswa hari ini acuh terhadap hal itu. Malah untuk mengingat saja sudah enggan apalagi mau mewarisi prinsip yang ditanamkan oleh mahasiswa juang dulu. Memang benar mahasiswa hari ini juga sibuk dan menyibukkan diri, tapi tidak semuanya disibukkan dengan Hal yang sekiranya membawa kemajuan pada dirinya sendiri. Malah sebaliknya yaitu kesibukannya di luar akademis dan organisasi.

Romantis dan kapital namanya yang sering membutakan hati hingga lupa tujuan dan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa, padahal mereka mempunyai beban moral yang harus dipikul. Jika dulu masyarakat sangat percaya kepada mahasiswa maka hari ini saya katakana, kepercayaan itu mulai sirna sedikit demi sedikit, sebab mereka enggan untuk membuktikan bahwasanya mahasiswa sumbernya cara mencari solusi setiap permasalahan yang ada di masyarakat.

Sangat jarang dari mereka yang menyadari bahwa mahasiswa akan pulang ke masyarakat yang nantinya akan dibenturkan dengan berbagai persoalan yang harus diselesaikan olehnya selaku generasi muda. Oleh karnanya, jika tidak segera bangkit militansi dan intelektualnya yang tinggi, tidak didapatkan karena nasab, melainkan karna kemauan dan kesetiaan terhadap proses.

Jika kuliah hanya sekedar kuliah, tanpa ada kesungguhan dibarengi dengan berorganisasi, maka siapapun bisa, mengerut harta orang tua untuk dibuat foya-foya bukan bagian dari kelakuan mahasiswa sejati, ingat itu.

Style dan romantisme yang merobohkan nilai tawar mahasiswa sebagai agent of change dengan kelakuan mempercantik diri dan kongkow ria bersama pasangannya bukan bagian dari citra diri mahasiswa. Tapi bagaimana mempercantik pikirannya lalu kemudian berusaha mengembalikkan kepercayaan orang-orang terhadap mahasiswa lewat pemikiran dan tindakan adalah seorang mahasiswa sejati.

Namun demikian, lucunya ketika ada mahasiswa yang lagi menjalankan ibadah ngopi yang berpenampilan tradisionalis dianggap kudet dan tidak mengikuti kemajuan zaman malah ditertawakan, mereka merasa benar dengan memposisikan diri sebagai anak sultan dan bermain romantis dengan pasangannya tanpa sadar dan menyadari akan tanggung jawab yang ada di pundaknya, budaya mahasiswa di meja kopi tak lagi dilestarikan, malah dibanting setir yang seharusnya ngopi sambil diskusi sekarang sudah disibukkan dengan gadgetnya masing-masing.

Ada penyakit baru yang ini tetap lingkupnya mahasiswa yang sudah hampir mendarah daging di setiap generasi mahasiswa tiap tahun, entah dengan cara apa membendungnya. Penyakitnya adalah merusak fokus belajar mahasiswa lainnya dengan cara ngebaperin lalu membuat down dengan senjata kebohongan yang alibinya “aku cinta kamu” lalu akhirnya ditinggalkan. Hal ini berbahaya, karena akan menjadi beban pikiran ketika sudah tersungkur ke jurang itu, maka jangan harap akan tetap fokus terhadap belajarnya dan tidak akan tercapai tujuan awal yang katanya ingin mewujudkan cita-cita serta berkontribusi besar terhadap bangsa ini.  (*)

*Misbahun Nury, Mahasiswa aktif IAIN Madura.