Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Punggung Baja Pak Tua

Rodinatul Munawaroh. (dokpri)

Oleh: Rodinatul Munawaroh (*)

Kumandang azan sayup-sayup mulai terdengar. Kokok ayam turut andil, memecah pagi bersama sang mentari yang perlahan meninggi. Aku dan kawan-kawanpun sudah terbangun dari tadi. Sudah membersihkan diri, sudah menyulap kamar menjadi rapi, dan bersiap berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah pagi. Meskipun, udara dingin menusuk sampai ketulang dan membuat gigi bergemelatuk tanpa henti.

Hari ini sedikit berbeda dengan hari lainnya. Sehabis subuh, keadaan cukup ramai dengan lalu lalang santri kelas 12 MA dan 9 MTs yang sibuk mempersiapkan segala hal untuk hari ini. Hari ini adalah hari kelulusan. Tiga tahun perjalanan menjadi seorang siswa sekaligus santri di Yayasan akan selesai hari ini. Sungguh tak terasa sudah sejauh ini masa terlewati di Pondok Pesantren.

“Nala,  nanti orang tuamu datang semua nggak ke acara wisuda? ”

Aku tersenyum kecil saat salah seorang kawanku bertanya akan hal itu. “ Nggak. Cuma Bapakku, memangnya siapa lagi?” jawabku seadanya.

“Ouh iya, maaf ya aku lupa.” Ungkapnya dengan raut bersalah di wajah.

Aku hanya bisa tersenyum kecut dalam diam, pura-pura kembali sibuk dan menganggap seolah perkataannya angin lalu. Memangnya, siapa yang tidak sedih ketika mengingat bahwa salah satu malaikatnya telah gugur dari dunia? Tidak ada. Rasanya masih terlalu menyakitkan ketika mengingat hal itu. Tapi terkadang, ada juga perasaan sedikit-kesal ketika melihat reaksi orang-orang yang menampakkan raut bersalah ataupun raut kasihan saat mengetahui bahwa aku adalah anak piatu. Anak yang sudah tidak lagi memiliki sosok ibu. seolah-olah, kehilangan salah  satu orangtua adalah hal yang sangat menyedihkan. Tidak salah, memang menyedihkan. Namun sudah menjadi takdir kalau semua yang mempunyai nyawa pasti akan tutup usia pada waktunya, jadi hanya sabar yang bisa dilakukan. Tak perlu terlalu larut dalam kesedihan.

Setelah selesai dengan segala persiapan, aku dan teman-teman segera menuju ke audotorium utama tempat dimana acara kelulusan dilaksanakan. Tak berselang lama, acara dimulai. Kursi-kursi sudah mulai diisi oleh tamu undangan dan wali siswa. Beberapa anak terlihat melambai kearah orang tua meraka yang datang. Menyambut kedatangan mereka dan memberitahukan dimana posisi mereka.

Kepalaku sesekali menoleh ke kanan-kiri, mencari sosok lelaki yang harusnya datang pagi ini. Ah, sepertinya Bapak terlambat lagi. Pakdhe Rahmat mana mungkin membawa ngebut motornya. Ia tak akan berani melakukan itu ketika yang diboncengnya adalah Bapak. Bapak sudah terlalu tua untuk diajak Kebut-kebutan. Pakdhe Rahmat tidak akan tega dan memilih melaju pelan asal selamat, walaupun artinya Bapak akan terlambat menghadiri acara kelulusanku.

“ Nala, Bapakmu sudah sampai disini?” salah seorang temanku bertanya lagi.

Aku menggeleng, “ Belum, sepertinya akan terlambat.”

“Wah, sayang banget.”

Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya. Bapak sudah kesini saja aku sangat bersyukur. Aku hanya berharap semoga Bapak sampai disini dengan selamat, dan bisa melihat acara kelulusan anak perempuan pertamanya ini.

******

Suara MC mulai terdengar membuka acara. Para petinggi Yayasan sudah memenuhi kursi paling depan. Susunan acara mulai dibacakan, bahkan beberapa penampilan adik kelas sebagai pemanis pembukaan acara sudah selesai ditampilkan. Tapi, Bapak masih belum datang juga. Aku mulai was-was, lagi-lagi menengok ke kanan-kiri untuk mencari keberadaanya. Kalau saja bisa, aku ingin sekali menghubungi Bapak dan menanyakan dimana dia sekarang. Sayangnya, tidak ada hp yang bisa digunakan. Di pesantren tentu tidak diperbolehkan membawa hp. Kecuali jika sedang bertemu keluarganya.

Beberapa saat berlalu, aku bisa menghela nafas lega ketika sosok laki-laki paruh baya dengan baju batik coklat terlihat tengah berjalan memasuki ruangan dengan arahan petugas. Beberapa orang juga ikut menengok kebelakang karena kedatangan Bapak sedikit menimbulkan kebisingan ditengah khidmatnya orang yang mengheningkan cipta sebagai bagian kecil dari acara. Bapak tidak mau langsung duduk dikursi yang ditunjukkan oleh petugas. Dia masih berdiri dengan pandangan memutari ruangan yang begitu besar ini.

“ lho aku iki pengin ketemu karo anakku sek. Duduknya nanti saja wong kesini jauh-jauh masa ndak boleh nyari anaknya.”

Aku menggigit bibir bawah mendengar suara Bapak yang terlalu keras. Orang bilang, semakin tua usia seseorang sikapnya justru semakim mirip dengan anak kecil. Dan itu terjadi juga pada Bapak. Tapi aku paham, aku memaklumi hal itu, dan aku tidak masalah sama sekali. Bagaimanapun dia tetaplah laki-laki terhebat yang sangat aku hormati. Hanya saja,

“ Iya pak nanti ada waktunya buat ketemu putri Bapak. Sekarang duduk dulu dan mohon kerjasamanya untuk khidmat mengikuti acara ini.”

-aku berharap Bapak jangan sampai mempermalukan dirinya sendiri dengan sikap keras kepala yang makin menjadi.

“ Sampean iku lapo Mas, ndak paham sama ucapanku? Aku yo adoh-adoh  kesini mau ketemu anakku, ora kok lungguh ndak kono dewean ora karo anakku.” Ucap Bapak lagi yang sepertinya mulai emosi. Dengan segera aku melambaikan tangan sembunyi-sembunyi didepan dada. Berbisik pelan memamnggilnya dan berharap bapak segera melihat keberadaanku. Aku khawatir kalau bapak menimbulkan keributan yang lebih.

Nyatanya, Bapak langsung sadar akan keberadaanku hanya dengan panggilan bisikanku. Bibirku bergerak pelan menyuruhnya duduk, dan dengan begitu saja dia mau duduk diiringi anggukan kepala dan senyum hangat kearahku. Bapak memang sepeka itu. Seolah-olah tidak ada hal lain didunia ini yang lebih kuat dibandingkan ikatan Bapak dan anaknya.

Tingkahnya tersebut tentu membuat heran petugas tadi, dia menengok kebelakang mungkin ingin mengetahui apa yang membuat Bapak tiba-tiba menurut. Tapi sepertinya dia tidak menemukanku yang sedikit terhalangi tubuh temanku yang lebih besar. Beberapa orang yang ikut memperhatikan Bapak juga terlihat sedikit bingung, namun hanya sesaat karena kemudian perhatian mereka teralihkan dengan serangkaian acara wisuda yang berjalan.

Aku duduk khidmat dengan sesekali menengok kearah Bapak untuk memastikan keadaannya. Bapak terlihat sangat serius mengikuti serangkaian acara wisuda, bahkan tawanya terlalu nyaring ketika mendengar jokes yang dilontarkan salah satu sambutan. Aku meringis pelan, tidak apa, yang penting Bapak bahagia. Walaupun, bapak kembali menarik perhatian banyak orang. Mereka menatap Bapak dengan pandangan yang seolah merendahkan.

Aku kesal ketika melihat reaksi orang-orang dengan menampakkan raut bersalah ataupun raut kasihan saat mengetahui bahwa aku adalah anak piatu. Tapi ternyata, akan lebih menyakitkan ketika melihat orang-orang memasang tampang merendahkan orang yang kita sayang. Entah kenapa nafasku langsung memburu ketika melihat beberapa orang saling berbisik kemudian terkekeh kecil sambil memperhatikan Bapak. Aku bukan anak bodoh. Aku paham apa yang tengah mereka pikirkan tentang bapak dan aku tahu bagaimana pandangan mereka terhadap Bapak. ‘Apakah Bapak terlalu menarik untuk dilihat daripada acara wisuda yang tengah berjalan ini? Bisakah berhenti melihat Bapak dengan tatapan rendah itu!’ Rasanya aku ingin sekali bertanya seperti itu!

“Acara selanjutnya, yang ditunggu-tunggu adalah pengumuman wisudawan dan wisudawati terbaik MA Minhajut Tholabah tahun ajaran 2021-2022.”

Suara MC menarik perhatian semua orang. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu olehku. Menjadi seorang juara adalah caraku membalas dendam pada semua yang menyedihkan dalam hidupku.

Aku menengok ke arah Bapak, ternyata Bapak juga tengah menatapku dengan penuh harap. Aku mengangguk, meyakinkan bapak bahwa kebahagiaan pasti akan datang. Sama seperti tahun-tahun lalu, aku berharap kembai menjadi juara untuk bisa mengangkat derajat orang tua. Aku ingin mereka bangga. Dan aku ingin membungkam mulut-mulut dan mata-mata yang selalu merendahkan keluargaku. Aku ingin menjadi sosok yang memberikan mereka pengetahuan bahwa Tuhan tidak akan membiarkan hambanya tertindas tanpa dasar yang pantas.

“Nama-nama wisudawan-wisudawati terbaik akan dibacakan dari peringkat ke-3”

“Peringkat ketiga, diraih oleh…..”

Aku mulai merapal do’a ketika suara MC kembali terdengar. Berharap semoga aku mendapat peringkat pertama dan bukan diurutan ketiga namaku disebutkan.

Nama peraih posisi wisudawan-wisudawati terbaik ketiga disebutkan,

“Ahmad Emil Ramadhan!!”

-dan aku bersyukur, bukan namaku yang disebutkan.

“Untuk selanjutnya, peraih peringkat kedua, adalah….”

“Nilna Laila Askia!!”

Aku menahan nafas. Itu nama lengkapku.

“Dan untuk peraih peringkat pertama adalah… Muhammad Ainun Najib!!”

Suara riuh tepuk tangan menggema di memenuhi ruangan. Tapi aku justru terdiam kehilangan harapan. Aku bukan yang pertama. Aku hanya menjadi juara kedua. Lalu apa yang bisa dibanggakan? Sedangkan sebelumnya aku selalu menjadi yag pertama.

Aku meneguk ludah susah payah, menengok kearah Bapak dengan mata panas yang mati-matian kutahan. Tapi ternyata, Bapak justru tersenyum hangat seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

“Bagi para juara dimohon untuk naik kepanggung bersama orang tua untuk mendapatkan penghargaan atas prestasinya.”

Bapak menganggukkan kepalanya lagi dengan senyum yang makin hangat ketika aku masih terduduk kaku ditempatku. Aku malu. Aku tidak bisa mempertahankan apa yang aku punya. Hal ini tentu menuai bisikkan dari beberapa teman-temanku yang tidak menyangka sedikitpun bahwa prestasi si juara menurun di akhir kisahnya. Ini terlalu menyakitkan.

“Ayo sama Bapak, Nak. Bapak bangga sama Kamu. Roda itu berputar, kita hanya perlu ikhtiar untuk bisa kembali diatas suatu hari nanti.”

Entah sejak kapan Bapak sedah berada disampingku, merangkul pundakku, dan berdiri tegap seolah punggung tuanya masih begitu kuat untuk menopangku yang tengah terluka. Ah, Bapak. Dia adalah pak tua yang selalu tau kapan punggung kuatnya digunakan untuk menopang anak-anaknya. (*)

*****

*Rodinatul Munawaroh, Lahir di Pemalang, 7 Maret 2004. Hobby menulis hanya sekedar untuk mengisi waktu luang sejak masa pandemi ketika masih menjadi Santri sekaligus Siswa di YPI Minhajut Tholabah, Purbalingga-Jawa Tengah. Namun ternyata, ketagihan sampai sekarang. Selain itu juga perempuan pecinta alam dan sekarang tengah menjadi mahasiswa Biologi di salah satu Universitas di Kota Malang.