Mahasiswa, Dosen dan Sarang Laba-Laba
Ilustrasi perpustakaan sepi pengunjung. (Ist)
Oleh: Latif Fianto (*)
Baru-baru ini saya berbicara dengan dua mahasiswa. Saya bertanya tentang apa yang mereka lakukan selama liburan semester. Pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lainnya saya lontarkan untuk mengisi waktu kosong sambil menunggu sekelompok mahasiswa lain yang berencana akan mengambil gambar untuk proyek film pendek. Jadi saya tanya, apa yang mereka lakukan di kos, dan keduanya menjawab: tidak ada, hanya tidur, nonton, makan, tidur lagi, makan lagi, dan nonton lagi.
Memang hanya dua mahasiswa, tapi ini bisa cukup merepresentasikan kondisi yang terjadi sekarang tentang sedikitnya mahasiswa yang menghabiskan waktu kosong mereka untuk membaca. Sangat disayangkan jika waktu kosong atau liburan selama hampir dua bulan itu hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang mereka sendiri tidak yakin apakah itu cukup membanggakan atau tidak. Itu terbukti dari jawaban mereka, “tidak ada”. Itu berarti, tidur, nonton, makan atau bahkan bergadang hingga jam 4 pagi bukan tergolong sebagai kegiatan yang membanggakan, yang bisa mereka ceritakan dengan sumringah kepada orang lain.
Ketika mereka memberikan jawaban semacam itu, saya masih terus memancing mereka untuk menjawabnya dengan kegiatan lain. Dalam hati sih berharap mereka jawab dengan baca buku meskipun tipis, menulis meski tidak selesai, atau merencakan sebuah proyek pembuatan film meskipun masih semester dua. Dan nyatanya, jawaban semacam itu tidak keluar dari mulut mereka. Bisa dibilang, harapan saya terlalu tinggi untuk mahasiswa yang setiap hari tinggal di lingkungan yang budaya baca dan menulisnya sangat rendah.
Itulah sebab, di lingkungan tempat saya mengajar, membaca adalah sebuah keajaiban, terutama jika itu dilakukan oleh mahasiswa. Meskipun memang dikatakan oleh Aceng Ruhendi Saifullah, membaca adalah kegiatan yang sangat purba karena tidak ada manusia yang tidak membaca di sepanjang hidupnya. Ini jika didasarkan pada satu definisi bahwa apa yang disebut bacaan bukan hanya sesuatu yang tertulis di atas kertas sebagaimana perintah membaca (Iqra’) yang tidak disebutkan objeknya dalam Al-Qur’an, tetapi juga sesuatu yang tidak kasat mata, yang tidak tertulis hitam di atas putih.
Di lingkungan tempat saya mengajar, dan mungkin juga di tempat-tempat lain, membaca bukan pekerjaan keren yang perlu dilakukan saat ini, terutama di tengah gempuran youtube dan tiktok. Saya menduga, saat ini hampir setiap mahasiswa yang saya ajar memiliki akun tiktok, tapi mungkin hampir sebagian besar dari mereka tidak memiliki satu buku pun untuk dibaca, yang mereka simpan di rak lemari, yang juga mereka bawa setiap ngopi. Seharusnya saya memiliki pikiran positif bahwa mereka mungkin membeli atau mengunduh buku dalam bentuk digital, yang mereka simpan di ponsel dan sangat bisa dibawa ke mana-mana tanpa perlu merasa riya’, sebuah sikap memperlihatkan diri kepada orang lain agar keberadaan atau perbuatannya diketahui orang lain. Kalau tidak demikian, saya seharusnya juga berpikir bahwa mungkin mereka sudah melakukannya dengan cara, sesekali, mendengarkan audio book yang jadi tren belakangan ini.
Akan tetapi, saya tidak bisa berpikir seperti itu karena dalam beberapa kali kesempatan, kalau saya tanya buku apa yang terakhir mereka baca, tidak ada yang bisa menjawab. Kalaupun ada, mungkin hanya satu sampai dua, itu pun mereka lupa judulnya. Padahal yang saya tanya masih judul, belum isi di dalamnya. Ini sangat disayangkan karena kurangnya aktivitas membaca dapat mengikis budaya ilmiah di ruang-ruang kelas. Kelas hanya dijadikan ajang membaca slide materi matakuliah dan mendengarkan ceramah dosen yang textbook tanpa ada kemungkinan terjadinya peristiwa dialektika yang memunculkan kristalisasi pengetahuan.
Kondisi demikian mendorong kelas perkuliahan menjadi sepi lantaran tidak banyak bahkan tidak ada mahasiswa yang mampu terkoneksi ke dalam pembicaraan ilmiah. Diskusi menjadi kering dan berakhir di gang buntu karena kurangnya wawasan dan pengetahuan, dan pengetahuan tidak bisa diperoleh dari sesuatu yang parsial, melainkan dari bacaan yang utuh, yang jelas pangkal dan ujungnya, yang komprehensif teks dan konteksnya.
Persoalan rendahnya aktivitas membaca mahasiswa—sebagai salah satu cara memperoleh pengatahuan—mendorong dosen mulai kekurangan tantangan. Dosen hanya datang, membaca slide, memberi tugas, mengabsen dan pulang. Kondisi ini didukung oleh peserta kuliah yang hanya mengangguk setuju, tidak berusaha bertanya atau tidak sempat bertanya serta tidak mampu memberi gagasan yang bisa mendorong seorang dosen terpaksa harus berdiri di pojok ketidaktahuan—berdasarkan beberapa pertimbangan, rasa-rasanya itu tidak mungkin.
Saya, sekali lagi, menduga, inilah kondisi yang mendorong sebagian dosen juga tidak memperbaharui pengetahuan dengan cara membaca buku atau lainnya sehingga kelas berubah menjadi forum ceramah agama. Tidak ada mahasiswa yang berani insterupsi atau bertanya untuk memulai dialog. Hampir di setiap semester yang dilakukan sebagian dosen hanya mengulang penjelasan yang sama tanpa sedikit pun pembaharuan sehingga peserta kuliah tidak memperoleh pengetahuan baru. Inilah yang barangkali mendorong dosen tidak membuka cukup luas ruang bagi terjadinya dialog dan berpikir bahwa dirinya hanya bertugas untuk mengisi bak kosong yang ada di setiap kepala mahasiswa.
Ini bertolak belakang dengan penjelasan Sokrates, yang mengatakan bahwa pada prinsipnya pendidikan itu menyalakan api, bukan mengisi bejana. Pendidikan yang baik adalah mendorong otak mahasiswa menyala, aktif berpikir, menggali dan merenung, yang menurut Sokrates, itu bisa dibangun dengan cara berdialog. Otak peserta didik perlu dilihat sebagai lampu yang harus dinyalakan bukan sebagai ember besar yang harus diisi sebanyak-banyaknya, karena ketika ember itu penuh, apa pun yang dituangkan ke dalamnya tidak akan pernah masuk.
Sayangnya, dalam kelas yang menjelma forum khutbah jumat, ruang dialog akan semakin berkurang. Pengetahuan peserta didik tidak akan muncul keluar karena dosen tidak bertugas sebagai bidan yang memproses agar bayi-bayi pengetahuan lahir. Otak mahasiswa meredup dan semakin tumpul dari waktu ke waktu karena kurangnya daya listrik, baik yang dialirkan oleh dosen sebagai role model maupun yang bersumber dari buku-buku bacaan.
Kurangnya membaca pada akhirnya juga merembet pada pengerjaan tugas akhir atau skripsi. Tugas akhir hanya menjadi ajang untuk menyalin tulisan orang lain tanpa perlu mencantumkan sumber. Definisi berbagai variabel dicomot dari sana sini tanpa bisa dihubungkan satu sama lain. Definisi dan konsep diambil dari skripsi orang lain yang sebenarnya juga dikutip dari tugas akhir orang lain tanpa dirasa perlu bertemu atau membaca langsung sumber aslinya.
Pengalaman semacam ini tentu saja bukan pengalaman baru, karena dalam ruang ilmah, yang terjadi adalah persoalan caplok-mencaplok, comot-mencomot, aku-mengakui secara sistematis-metodologis. Tetapi yang pasti, seseorang membutuhkan input yang banyak dan beragam untuk menghasilkan outcome yang baik. Seseorang yang memiliki tidak cukup input—makanan bergizi dari bacaan yang dibaca—tidak akan pernah menghasilkan produk yang baik karena kepalanya sudah menjadi sarang laba-laba. (*)
*Latif Fianto, penulis dan dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.