Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sajak-sajak Rara Zarary


Ruang Kosong

Kepulangan telah menyeka air mata sampai ke ruang kenang
Udara melonglong soal kekosongan
Lapar, lapar, aku ingin memeluk segala keresahan
Terkungkung pengap diantara gelap
Aku telah kehilangan
Engkau telah mencampakkan
Kita seperti dua binatang saling menanggalkan di balantara hutan sisa perang

Siapakah kita
Di antara tanya dan jawab yang “tiada”

Malang, 2016

Bila Masa…

Tak seperti sore kemarin
Tempat mengaji disulap kandang kesengsaraan dan penjualan sebuah penghargaan
Di sebelah danau hanya reranting menua sebelum dibakar
Genteng menghitam adalah saksi sebuah ketidakberdayaan
Aku berbisik lirih pada sebuah masa
Soal moderenisasi tingkah kita
Sudah tak kutemukan lagi wajah hijau desa atau surau berwajah sejahtera

Nyaris, anak-anak berlari mengejar sebuah kebahagiaan dalam kehidupan “maya”

Aku miris, memandang langit menangis
Aku sakit, saksikan desaku meringis

Malang, 2016

Mencintaimu Sebatas Kenang

Lelap cahaya malam
Purnama mengajariku sebuah pengharapan lebih panjang dari penantian
Perempuan yang datang menimang hati ke ruangmu
Sebuah alasan takdir menyadarkan kebodohanku

Aku simak pelan-pelan soal keadilan Tuhan
Hati remuk, kaki terkilir, dan dada tak berdegub

Katanya,
Kau milik perempuan lain
Aku nestapa
Mengabadikan kenangan terbakar jahanam

Aku mencintaimu dalam luka keabadian
Memilih mati dipeluk sumpah serapah dan kenangan yang murka
Memujamu pada syahadat cinta yang dusta
Lalu diam-diam lelap dalam sebuah ketiadaan

Malang, 2016

Rindu Musiman

Reranting di halaman rumahku jatuh satu demi satu
Melodi sore sumbang dibawa angin kemarau yang kaku
Semacam menunggu, gugur daun telah layu di pelupuk tanahku
Butir-butir biji bunga matahari lelah lenyap menyerap resah degub jantungku

Aku rindu padamu
Pada setiap kemarau yang memanjang dan tanah menggersang
Tanpa jawaban pasang surut pantai selalu kupertanyakan
Dimana waktu –
Bagaimana kabarmu –

Bila rintik air langit datang terbayar dahaga dan aku bisa bernapas lega
Kau jatuh kepelukan
Hitung detakku yang liar
Mengikat sebuah janji pelaminan

Aku rindu padamu jika kemarau
Bulu-bulu mata meriang
Tubuh terbakar
Kaki mencakar liar hitam bola mata rupai arang

Aku mengingatmu pada kemarau yang panjang
Saat hujan memastikan kesunyian
Dari segala risau dan gelisah perempuan

Malang, 2016

Elegi Hujan Pada Petang

Apa yang pantas kita perdebatkan lagi
Sedang rindu sudah kau sulut jadi empedu
Apa yang masih harus diungkit kembali
Segenap puisi yang biru telah kau cincang berkeping jadi abu

Aku ratapi sunyi pada malam yang kelam
Menyorot purnama yang sirna dalam pangkuan tuan
Menghitung angka pada kalender menua
Aku mengutuk diri

Melempar alasan sebuah kerinduan pada kenestapaan
Barangkali benar,
Hujan telah meniadakan doa-doa yang pernah kita panjatkan
Atau aku yang telah nista dengan sebuah pengharapan panjang

Aku menghitung langkah kaki di sepanjang trotoar kota ini
Menghapus jejakmu perlahan-lahan
Mengubah nada malam dengan degub jantung yang tertahan
Aku berulangkali pulang dan kembali

Aku rapalkan harapan kedatanganmu yang sudah hilang tak sudi
Aku hapal tentang sajak pagi dan rayuan petang
Bahwa hujan hujan yang pernah kita mainkan hanyalah malapetaka yang kau rancang menjadi sebuah kenangan dan tontonan pengkhianatan

Aku dan puisiku terlalu pagi untuk menikmati tikaman kenangan
Yang dibawa hujan sepanjang petang

Malang, 2016

Terapung

Aku tak ingin jadi sarjana inlander
Pindah tali toga lalu menciumi telapak demi telapak dinding berlogo
Pengabdian usai tanpa riwayat
Dan harapan-harapan satu per satu geger

Jalanan ramai bising pesawat
Mencari-cari lorong juga pabrik-pabrik kosong
Nasibnya diambang pintu ke (tidak) pastian
Lembaran ijazah berkoar di lorong-lorong

Aku tak ingin jadi manusia tanpa tuhan
Menjawantahkan lembar riwayat hidup dan berkas yang tak berkesudahan
Meniupi api setiap selesai raka’at malam Jum’at
Lalu bersila mendiskusikan barang tak punya alamat

Aku tak ingin jadi sarjana inlander yang selesai mencorat-murat
Dibuangnya sebuah tulisan lalu dijadikannya hiasan gedung rektorat
Biarpun katanya sudah tamat
Aku masih di benak yang susah melipat sempat, bagimana kah aku?

Malang, 2016

Kemana Lagi, Aku Akan Pergi?

Di tanah orang aku berdiri tegak lalu duduk rapi
Pagi-siang-malam kujelajahi panjang kota asing ini
Separuh hari aku bekerja hati-hati
Menjual barang kesana-kemari

Di persimpangan, kutemukan kawan pribumi juga lain rantauan
Lain pulau juga budaya dan perwatakan
Aku enyahkan saja sebuah pandangan
Sebab aku masih sibuk merapikan barang untuk jutaan pelanggan

Mata-mata menatapku dengan seksama
Dari ujung kaki hingga rambut dilihatnya dengan penuh gejolak dada

“Jangan main-main di tanah kami. Atau kau kami usir tanpa tangan tinggal mimpi”
Bumi menyempit, dunia melirik-lirik

“mungkin saja, mereka telah terusik dengan kerja keras dan usaha mujurku sebagai penumpang di atas tanah orang.”

Kemana lagi, aku akan pergi?

Malang, 2016

Oh, Bulan Mei

Debu – debu negara sudah menutupi angkasa
Logika terbayar oleh harta
Martabat – kehormatan – kasta – kuasai dunia
Merajalela rakyat jelata
Oh bulan Mei,
Buruh punya tanggal dan pendidikan masih tertinggal
Kapan tiba lipat polusi korupsi-kolusi-nepotisme
Lalu daku juga dikau damai dalam dambaan
Para pelajar – karyawan tak usah risaukan sebuah masa depan.

Malang, 2016


*Rara Zarary, nama pena dari Munawara. Wanita kelahiran Sumenep. Lulusan Universitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang. Sekarang sedang menjadi Redaktur Tebuireng.org