Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Visit Sumenep


JELANG
program Visit Sumenep Years 2018 yang dicanangkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur akan berlansung, tentu banyak event (acara) yang dipersiapkan untuk mendukung berbagai program yang telah direncanakan. Program yang populer dengan tahun kunjungan wisata ke Sumenep tahun 2018 tersebut telah secara resmi dideklarasikan di gedung Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif di Jakarta beberapa waktu lalu.

Tempat-tempat wisata sudah mulai berbenah. Seperti Gili Labak, Giliiyang, Pantai Sembilan di pulau Gili Genting dan berbagai tempat wisata lainnya misalkan, sejak beberapa waktu lalu sudah dipersiapkan untuk hal itu. Berbagai event telah digelar untuk menyambut tahun kunjungan wisata tersebut. Beberapa diantaranya, Sumenep Spektakuler, Sumenep Batik Festival, Sumenep Color Run, dan berbagai event lainnya pun telah usai dilaksanakan.

Hanya saja, dari deretan event-event itu, belum sepenuhnya mencerminkan akan eksplorasi kekayaan budaya dan adat-istiadat masyarakat Sumenep secara utuh. Terdapat berbagai event yang hal itu justru kontroversial dan mendapat sorotan tajam para tokoh dan masyarakat Sumenep.

Beberapa event yang sempat mencuat diantaranya pagelaran Sumenep Spektakuler dan Sumenep Batik Festival yang belum lama ini dilaksanakan. Para tokoh dan masyarakat banyak memberikan pernyataan tentang aspek budaya lokal yang cenderung dirusak oleh event-event yang digelar ketimbang mengangkat aspek positif dan manfaatnya terhadap masyarakat dan Sumenep.

Sebagai kabupaten yang telah mendeklarasikan diri menjadi tempat tujuan wisata, Sumenep sudah seharusnya meningkatkan “equality control” terhadap berbagai event dan kegiatan kepariwisataan yang hendak digelar. Baik event yang memang dicanangkan oleh pemerintah maupun pada sektor event yang akan digelar oleh pihak swasta, pemerintah tetap wajib meiliki kontrol penuh. Hal itu sangat diperlukan sebagai pengendalian mutu, mengingat untuk meminimalisir kejadian-kejadian serupa yang akan menenggelamkan Sumenep menjadi tempat tujuan wisata yang jauh dari tata nilai kebudayaan masyarakat lokalnya.

Syaf Anton, Budayawan Madura asal Sumenep misalkan dalam akun Facebooknya beberapa waktu lalu menulis “Sumenep Akan Jadi Kota Paha?”. Beliau menulis itu sesaat setelah pagelaran event Sumenep Batik Festival usai dilaksanakan. Bagi penulis, itu adalah ungkapan spontanitas dari seorang budayawan yang melihat jika event tersebut sudah keluar dari tata nilai dan tata kebudayaan masyarakat Sumenep.

Diketahui, dalam pagelaran tersebut, ternyata banyak peserta luar daerah yang menampilkan busana batik diluar kebiasaan event pada umumnya untuk tingkat kabupaten Sumenep. Sontak, hal tersebut menjadi viral dan banyak mendapatkan tanggapan sinis dari masyarakat, terutama di Sumenep yang bersepakat jika kegiatan tersebut diluar batas “etika” masyarakatnya.

Lalu, Syaf Anton melalui postingan berikutnya mengatakan jika dirinya prihatin karena status yang ditulisnya mendapat sorotan luar biasa. Dia melanjutkan jika status tersebut menjadi berita sekaligus realitas bahwa hati masyarakat Sumenep telah terlukai atas pola tingkah yang lahir dari kebijakan seorang pemimpin.

“Persoalan etika, dan estetika yang bertumpu pada adat masyarakat Sumenep merupakan sesuatu yang sangat berarti, bahkan dalam hal kepariwisataan. Masyarakat sebenarnya mengapresiasi selama tidak mengorbankan hak-hak yang prinsip, yang sejak awal terbangun dari generasi ke generasi. Yaitu nilai-nilai tradisi yang mencerminkan watak masyarakat Sumenep,” tulisnya menjelaskan.

Dengan demikian, dari berbagai event yang telah digelar, terdapat banyak catatan negatif. Sejatinya, ini adalah momen pembelajaran Sumenep yang baru mempersiapkan diri menjadi tempat tujuan wisata. Kedepan, hal-hal demikian itu tidak boleh terjadi kembali, supaya tahun kunjungan wisata yang tinggal menghitung jam ini dapat terlaksana dengan baik tanpa mengesampingkan aspek kebudayaan lokal yang menjadi ciri dan norma yang tak boleh ditawar-tawar oleh siapapun.

Konsekuensi dari deklarasi Sumenep menjadi kota tujuan wisata adalah semakin sulitnya mengendalikan mutu dari setiap event dan kegiatan kepariwisataan dengan tetap berpedoman pada perilaku adat-istiadat dan norma-norma masyarakat Sumenep. Itu artinya pemerintah akan semakin sulit untuk mengendalikan perilaku wisatawan yang sangat mungkin untuk mengulang kejadian-kejadian yang telah lalu di masa mendatang. Tanpa pengendalian mutu yang jelas, maka bersiap-siaplah Sumenep menjadi kota tujuan wisata yang diluar batas etika dan estetika watak masyarakatnya.

Semoga saja tak demikian. Wallahu A’lam.. (*)

*Ahmad Fairozi, pendiri Rumah Baca Indonesia (Rumah Baca ID).